Ditulis oleh Windy Effendy
Anak lelaki itu berdiri, memelototkan mata pada gurunya. Jarak di antara mereka hanya satu sentimeter. Mata bocah itu nyalang. Mata gurunya pun tajam. Tak ada kata-kata yang terucap di antara mereka. Ruang kelas pun senyap. Dunia hanya milik mereka.
Itu adalah sebuah adegan dalam film Pengepungan di Bukit Duri besutan Joko Anwar. Edwin, sang guru yang diperankan oleh Morgan Oey, berhadapan dengan Jefri, murid lelaki yang diperankan oleh Omara Esteghlal. Adegan itu menggambarkan seorang murid yang tak takut kepada gurunya. Kata-katanya pun sangat tidak patut diucapkan seorang murid kepada guru. Lebih jauh, itu adalah persoalan rasisme, tema besar Pengepungan di Bukit Duri.
Lupakan perihal rasisme. Jauh di dasar sana, ada sebuah kerusakan moral dan etika yang parah. Walaupun film ini mengambil setting pada 2027, tetapi mari kita lihat lebih dekat di hari ini. Sudah banyak terjadi kasus dan kisah tentang siswa yang melawan gurunya.
Film ini bicara soal luka yang tak selesai. Jefri merasa harus jadi pembenci akibat kisah masa lalunya. Tak ada yang membantunya bicara. Teman-temannya menjadi pengikutnya, Jefrilah yang berkuasa. Tidak semua setuju pada tingkahnya memang, tetapi tak ada yang berani mengatakan tidak. Lebih baik menjauhi Jefri dan kelompoknya.
Ketika film terus menuju klimaks, sosok Jefri menjadi semakin kejam dan brutal. Selain menjadi pemimpin, sikapnya mengarah pada perusakan. Baik secara mental dan material, Jefri yang memulai. Diawali pada kemarahan pada situasi, membesar pada kebencian, yang semua itu sebenarnya tidak jauh dari persoalan ketakutan. Takut pada masa lalunya, takut pada masa depan yang harus dihadapinya.
Merenungkan Peran Orang Tua
Ini bukan persoalan fasilitas yang tidak adil kepada murid. Akses pendidikan yang tidak sama, mungkin hanyalah salah satu pemicunya. Sikap guru yang terlalu otoriter terhadap siswa-siswinya, mungkin menjadi bagian tak terkecualikan. Namun, yang paling penting, krisis pendidikan dari orang tua di rumah.
Jangan semata-mata menyalahkan anak, atau pihak sekolah. Apa kabar diri kita sebagai orang tua? Sudahkah kita memberikan pendidikan akhlak dan etika kepada anak-anak di rumah? Apalagi ibu, pendidik utama anak-anak. Mungkin ada baiknya melakukan introspeksi pada diri sendiri.
Paparan teknologi, banjir informasi, dan kemudahan akses menjadi kambing hitam atas rusaknya moral anak-anak atau generasi saat ini. Ah, bukankah sebagai orang tua kita juga wajib dan harus memberikan pagar untuk semua akses itu? Apa yang sudah kita berikan sebagai ibu untuk menggantikan waktu mereka dengan semua kecanggihan teknologi itu. Sudahkah kita berdialog dari hati ke hati dengan anak-anak? Sudahkah kita bercakap dengan lembut dan memberi contoh yang baik?
Atas nama tugas sekolah, sering kali screentime limit dilanggar—baik oleh anak-anak sendiri atau atas izin orang tua. Belum lagi kini hadir sosok virtual yang bisa diajak berbicara langsung di gawai atau melalui aplikasi. Sebut saja Meta Assistant, Chat GPT, Gemini, dan sebagainya. Bila orang tua tak tanggap, kebutuhan komunikasi anak akan terpenuhi dengan kehadiran tokoh tak nyata itu.
Urie Bronfenbrenner, ahli psikologi asal Rusia yang besar di Amerika, menekankan pentingnya konteks ekologis pada proses perkembangan manusia. Ada yang dinamakan kerangka proses-manusia-konteks waktu untuk memahami perkembangan. Interaksi harian yang dilakukan anak dengan orang lain sangatlah berarti, termasuk simbol dan objek yang ada di lingkungan tempat anak dibesarkan.
Jefri—berhubungan dengan isu rasisme yang diangkat di film Pengepungan di Bukit Duri—kehilangan interaksi dengan orang tuanya. Sayangnya dalam film ini tidak dijelaskan situasi Jefri ketika sudah tidak bersama ibunya, dan ayah seperti apa yang mengasuhnya. Namun, hasil kekosongan itu sangat nyata: terlihat dari bagaimana Jefri membenci dunia. Situasi keluarga anak-anak lain pun juga tidak dijelaskan dalam film ini, mungkin selain tidak perlu keluar dari setting SMA Duri, luka-luka itu sudah tergambar jelas dari sikap dan attitude para siswa yang berkomplot dengan Jefri. Gambaran itu sangat terhubung dengan teori dari Urie Bronfenbrenner di atas.
Anak-anak tumbuh dengan banyak ketidaktahuan. Mereka membutuhkan jawaban atas ketidaktahuan mereka. Tugas ibu dan ayah adalah memberikan jawaban itu. Ketika orang tua tidak bisa memuaskan dengan jawaban yang tepat, mereka akan mencari jalan lain. Jalan keluar yang lain.
Jiwa-Jiwa yang Kosong
Melihat sosok siswa-siswa—dan satu siswi—dalam kelompok Jefri yang memberontak dengan brutal, muncul pertanyaan bagaimana latar belakang mereka. Tentu saja itu hanyalah karakter dalam film. Namun, bagaimanapun itu adalah potret nyata anak-anak yang terluka di masa ini. Bisa terbayangkan kondisi keluarga yang buruk, percakapan ibu-anak yang nyaris atau bahkan tidak ada, kekosongan yang ada dalam hati mereka; yang membuat mereka bertindak sejauh itu.
Ada beberapa adegan yang dengan jelas menyorot mata mereka yang penuh ketakutan. Keberanian yang menyala-nyala di depan sudah lenyap. Kabut kengerian dan ketakutan menyelimuti mata anak-anak itu.
Ketika ketakutan—atau kemarahan muncul, logika tidak berjalan. Emosi yang bertindak. Dorongan untuk melakukan tindakan yang di luar nalar akan sangat besar. Jantung memompa darah lebih cepat, pupil mata membesar, pikiran menajam: fokus pada ancaman. Pilihannya adalah flight or fight: lari atau melawan.
Hanyalah Seorang Anak
Dalam Pengepungan di Bukit Duri, ada kurva yang terjadi dalam diri anak-anak itu—kecuali Jefri. Mereka yang tadinya melawan dan marah berubah menjadi takut dan melemah. Tawa yang tercurah berubah menjadi mata yang membasah. Sungguh iba melihatnya. Ternyata mereka bukan iblis, melainkan anak-anak biasa.
Masih banyak anak-anak seperti itu di luar sana. Setidaknya, mari menyelamatkan masa depan anak-anak kita sendiri. Dengan merangkul mereka lebih ketat, menyentuh hati lebih lekat, serta mengajak bicara lebih dekat. Hanya kita yang bisa menjaga agar hati mereka tak terluka. Kita, para perempuan, para ibu, yang dihadirkan untuk merawat cinta. [WE]
No comments