Ditulis oleh Endang P. Uban
Jika bisa, aku masih ingin menyapa
Ibuku. Ibu yang mengajariku memasak, Ibu yang tak mengizinkan aku pergi bermain
ketika acara masak belum selesai, Ibu yang sudah lama berpulang dan membuatku
resmi bergelar yatim piatu.
Ibuku, dan memasak. Dua hal yang tak
bisa dipisahkan. Seberapa pun repot dan lelahnya, ibuku dulu tetap memasak.
Kurasa, itulah hal yang paling dia cintai dan menjadi wadahnya menghibur diri.
Ada beberapa masakan yang tak pernah
ingin kukerjakan, tersebab pembuatannya yang kulihat terlalu repot. Dulu masih
ada Ibu yang bisa kusambati untuk
membuatkan, sekarang tidak lagi. Ini bukannya aku tidak menyadari batas usia
seorang manusia, sesederhana aku hanya ingin meminta dibuatkan Ibu saja.
Suatu hari di bulan September, aku
mendapatkan kiriman udang rebon mentah. Tak ada pengalaman dan tak banyak pula
referensiku tentang masakan berbahan udang rebon yang disukai keluargaku. Yang
pertama melintas di pikiranku adalah rempeyek. “Duh!” batinku.
Aku menjadi saksi betapa lamanya
dulu Ibu di dapur membuat rempeyek. Duduk dengan dingklik menghadap kompor
adalah bukti lelahnya kaki Ibu jika terus berdiri menggoreng. Yang kuingat
pesannya adalah, “Memang harus sabar. Minyak panas tapi api kecil, jangan
gosong dan jangan sampai hancur.” Saat itu aku hanya berdiri mengamati. Ibu
tidak memaksa, entah kenapa.
Pernah aku mempertanyakan pada diri
sendiri, kenapa tak pernah mencoba membuat rempeyek. Seberapa besar
kesulitannya? Tidakkah ingin menuntaskan rasa penasaran, toh sudah beberapa
video YouTube kusaksikan untuk mengetahui semua triknya? Toh, bumbu-bumbu pembuatnya
bisa aku duga apa saja, berbekal pengalaman memasak dan mencicip rasa. Tetap
saja selama ini aku lebih menyerahkannya pada takdir keterpaksaan dibandingkan
menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu. Maka, inilah momen keterpaksaan itu.
Kubaca beberapa resep membuat
rempeyek pada sebuah aplikasi memasak, dan kurangkum. Pada sebuah baskom
sedang, kumasukkan 150 gram tepung beras. Namanya mencoba pertama kali, sedikit
saja cukup, pikirku. Kutambahkan dua sendok makan tepung sagu. Telur atau
santan, rasanya tak ingin kugunakan. Praktis dan minimalis saja. Pada tabung
blender bumbu, kuhaluskan tiga siung besar bawang putih, satu sendok makan
ketumbar bubuk, tiga buah kemiri, dan seujung kelingking kencur.
Bumbu yang sudah kuhaluskan itu
kutuangkan pada baskom berisi tepung, dan kutambahkan dua sendok teh kaldu
bubuk. Aku ingat, rebon itu asin rasanya. Maka rasa asin kaldu bubuk sepertinya
cukup tanpa harus diberikan garam lagi. Tiga lembar daun jeruk purut kuiris
halus setelah dibuang tulang daunnya, dan kutambahkan pada adonan. Lalu
akhirnya sang bintang utama, rebon, yang telah lebih dulu direndam air hangat
untuk mengurangi kadar asin pun ditiriskan. Setelah kutuangkan sejumlah air,
mungkin hanya sekitar 200 - 250 mililiter banyaknya, kuaduk rata semua
campurannya menjadi adonan yang cair kemudian kusisihkan.
Pada penggorengan berbentuk cekung,
kutuangkan minyak goreng. Entahlah berapa mililiter, pokoknya cukup saja untuk
menggoreng. Kunyalakan kompor dengan api yang sedang saja besarnya. Setelah
beberapa saat dan minyak tampak sudah panas, kuteteskan sedikit adonan.
Tetesan-tetesan adonan itu segera kembali ke permukaan minyak menjadi
remahan-remahan kering, pertanda minyak siap digunakan.
Pelajaran pertama menggoreng
rempeyek yang kusaksikan dari Ibuku dan video-video YouTube adalah menuangkan
sedikit adonan pada pinggiran penggorengan yang tidak terkena minyak dan
membiarkannya mengalir ke dalam minyak. Seolah-olah adonan itu berpegangan dulu
pada pinggiran penggorengan untuk mendapatkan bentuknya, sebelum siap
dilepaskan pada kolam minyak panas. Inilah saat-saat menegangkan bagiku, dan
inilah yang akan menjadi penentu keberhasilan wujud sebuah rempeyek.
Perlahan-lahan kukerjakan semuanya.
Ketika adonan-adonan yang kutuangkan dari sendok sayur itu sudah erat
berpegangan pada pinggiran penggorengan, saatnya menyirami dengan minyak panas
menggunakan sutil. Perlahan, pegangan mereka akan terlepas dengan sendirinya
meluncur ke dalam minyak seiring adonan mulai mengering. Kadang kala, kubantu
juga mereka berenang dengan menggunakan goyangan sutil.
Pelajaran kedua adalah menggoreng
dengan sabar hingga rempeyek-rempeyek itu menjadi kering dan renyah ketika
digigit. Uap panas kompor yang membuat tubuh berkeringat tentu saja adalah
salah satu faktor mengapa pekerjaan ini membutuhkan kesabaran, selain lelahnya
kaki. Itulah alasannya mengapa dulu membuat rempeyek tak pernah mau kulakukan.
Tak lama setelah rempeyek-rempeyek
itu kuangkat dan tiriskan dari penggorengan, ada tangan lain yang bukan
tanganku memungutnya dari wadah peniris. Cerita menjadi berbeda. Dia menggigit
rempeyek yang dipegangnya, lalu terdengar bunyi patahan renyah. Matanya
berbinar dan berucap, “Enak! Tidak terlalu asin, pas!” Akhir cerita itu sungguh
membahagiakan.
“Ibu! Aku berhasil bikin peyek! Lihat, Bu!”
Itu teriakanku, jika masih bisa menyapa Ibu.
Editor: Ari PW
No comments