Ditulis oleh Ikasari
Mataku terpaku pada
tulisan di kain warung tenda pinggiran Jalan Solo, Yogyakarta. Pindang Daging
dan Soto Kudus. Dua frasa itu melayangkan memoriku pada kenangan masa kecil 30
tahun silam.
Sudah terlalu lama
rasanya aku tidak menikmati Pindang Daging dan Soto Kudus, nama kuliner yang
disematkan pada spanduk warung kaki lima tersebut. Di benakku, Pindang Daging
identik dengan nasi pindang daging kerbau yang berasal dari Kabupaten Kudus.
Pindang berwarna hitam, bukan pindang ala Betawi yang berwarna kuning, bukan
juga pindang berbahan ikan.
Membayangkan Pindang
Daging, seketika itu juga air liur memenuhi rongga mulut. Terbayang nikmatnya
nasi pindang yang sering kunikmati saat masih kanak-kanak di Kudus. Biasanya,
kami menjadikannya sarapan.
Aku menyukai nasi
pindang sejak masih berseragam putih merah. Kakeklah yang biasanya mengajakku
menikmatinya di warung makan. Hampir seminggu sekali, Ibu juga menyuruhku
membeli serantang Pindang Daging di warung seberang rumah.
Pindang Daging dengan
pelengkap daun melinjo alias daun so dan taburan bawang goreng benar-benar
menggugah selera dengan aroma khasnya. Potongan daging kerbau plus gajihnya
yang empuk berpadu dengan kuah berwarna hitam dari kluwek atau picung. Padanan
rempah dan bumbunya memperkaya rasa nasi pindang. Ada rasa gurih, manis, dan
sedikit pedas yang membuat ketagihan.
Tak tahan dengan desakan
memori rasa dan aroma Pindang Daging, kakiku pun melangkah masuk ke warung
tenda tersebut. Di dalamnya, orang-orang terlihat semringah menyantap menu di
hadapan mereka masing-masing. Namun, rupanya Pindang Daging kalah populer dari
Soto Kudus.
Jarang sekali aku
menjumpai warung yang menyajikan Pindang Daging dan Soto Kudus sekaligus.
Kebanyakan warung di Yogyakarta hanya menyajikan Soto Kudus. Setelah puluhan
tahun, baru kali itu aku menemukan Pindang Daging. Itu pun pindangnya tidak
terbuat dari daging kerbau, melainkan daging sapi. Jika dulu aku terbiasa
menyantap nasi pindang sebagai sarapan, warung tenda di Jalan Solo itu
menyediakannya sebagai menu makan malam.
Sepiring Pindang Daging
terhidang di hadapanku malam itu. Nasinya disajikan di atas piring beralas daun
pisang, memberi kesan tradisional sekaligus unik. Penjualnya juga menyediakan
sendok daun pisang alias suru untuk
pelanggan. Tetapi, sebagian besar memilih untuk menyantap nasi pindang itu
dengan sendok dan garpu aluminium.
Seporsi kecil nasi putih
bertabur irisan daging sapi, daun melinjo, dan bawang goreng hadir bersama kuah
pindang berwarna hitam. Sebagai pelengkap, di atas meja tersedia sambal,
potongan jeruk nipis, dan aneka lauk yang bisa dipilih sesuai selera. Di
antaranya, sate telur puyuh, baceman
tahu, tempe goreng, perkedel kentang, daging, dan kerupuk. Kerupuknya pun ada
tiga macam, yaitu kerupuk kulit, kerupuk udang, dan gendar atau kerupuk nasi.
Suapan pertama nasi
pindang dari warung tenda itu sukses mengobati rinduku pada Pindang Daging,
menu sarapan favoritku dulu. Kendati bukan daging kerbau, olahan daging sapi di
warung itu ternyata nikmat juga.
Sekilas, nasi pindang di
hadapanku mirip dengan nasi rawon asal Jawa Timur. Yang membedakan adalah
tambahan santan pada Pindang Daging. Nasi pindang dilengkapi daun melinjo dan
taburan bawang goreng saja, beda dengan rawon yang ditemani taoge pendek. Menu
lain yang serupa nasi pindang adalah nasi brongkos dari Jawa Tengah. Selain
irisan daging, nasi brongkos biasanya dilengkapi kacang tolo dan potongan tahu
goreng.
Menurut Nenek, dulunya
nasi pindang daging kerbau adalah makanan mewah. Yang bisa menyantapnya
hanyalah kalangan bangsawan. Biasanya, menu itu dihidangkan saat pesta atau
hajatan.
Mengapa menggunakan
daging kerbau? Ada pengaruh Sunan Kudus dalam tradisi tersebut. Konon, Sunan
Kudus melarang penggunaan daging sapi dalam sajian demi menghormati sebagian
masyarakat Kudus yang memeluk agama Hindu. Bagi umat Hindu, sapi adalah hewan
yang disucikan. Maka, sebagai wujud toleransi, Sunan Kudus meminta masyarakat
Kudus tidak mengolah daging sapi menjadi menu makanan.
Seiring berjalannya
waktu, bermunculanlah penjual nasi pindang yang menggunakan daging sapi dan
daging ayam di Kudus. Selain lebih mudah didapatkan, daging sapi juga
bertekstur lembut dan empuk.
Secara turun-temurun,
resep nasi pindang daging kerbau lestari di Kudus. Kini, mudah saja menemukan
resep nasi pindang ala Kudus alias Pindang Daging di internet. Jika sudah rindu
berat, kita bisa membuatnya sendiri di rumah. Aku pun tak perlu menunggu sampai
malam tiba dan warung tenda di Jalan Solo itu buka untuk sekadar menyantap nasi
pindang. Siapkan saja bahannya, lalu berbekal contekan dari internet, Pindang
Daging praktis hadir di rumah.
Yang perlu diingat,
siapkan daging kerbau atau daging sapi bagian sandung lamur (beef brisket). Setelah itu, imbuhkan
kaldu rebusan daging, santan, dan daun melinjo muda. Kluwek sebagai pemberi
aroma khas dan warna hitam dipadukan dengan aneka rempah, diantaranya, bawang
merah, bawang putih, terasi bakar, ketumbar, daun salam, daun jeruk, lengkuas,
sereh, jahe, air asam jawa, minyak goreng, gula merah, dan garam.
Meskipun membuat Pindang
Daging sendiri tidak sulit, jujur aku lebih suka menikmatinya di warung.
Apalagi, jika warung tersebut menyediakan nasi pindang daging kerbau. Ada kesan
tersendiri saat makan bersama banyak orang di warung. Bagiku, Pindang Daging
yang disantap di warung mujarab untuk membangkitkan lagi kenangan indahku
bersama Kakek. (*)
Editor: Hep
No comments