Bertualang ke Waerebo: Perjuangan Menuju Negeri Dongeng


Ditulis oleh Wina Bojonegoro


Mengunjungi Waerebo  adalah sebuah niat yang harus disertai persiapan sejak masih menuliskan destinasi itu di atas kertas. Ini bukan sekadar liburan biasa. Perjalanan akan melewati alam liar,  menuju sebuah kampung yang terletak di atas awan.


Waerebo menawarkan pengalaman unik dan mendebarkan bagi mereka yang mencari keaslian dan keajaiban alam. Namun, ada yang bilang Waerebo sekarang sudah terlalu turistik. Untuk membuktikannya, mari ikuti perjalanan saya.


Perjalanan Darat yang Aduhai

Saya dan suami mendatangi persewaan motor yang ada di jalan utama Labuan Bajo. Dua rental menolak menyewakan motornya, ketika kami jujur bilang akan ke Waerebo. Kami bertatapan dan bertanya-tanya, ada apa gerangan? Muslihat pun kami susun. Kami tak akan bilang menuju Waerebo, melainkan Labuan Cermin dan jalan-jalan saja. Berhasil! Kami membawa motor Mio dengan sewa 75.000 rupiah sehari. Kami menyewanya dua hari dengan meninggalkan uang jaminan dan salah satu KTP.

Dari sini petualangan dimulai. Di awal perjalanan motor meliuk di jalan Trans Flores yang mulus. Senyum ceria dan berteriak ala anak muda sesekali kami lakukan. Perjalanan menuju Denge, desa terakhir sebelum mendaki menuju Waerebo, kami tempuh sekitar 8 jam.

Jalan makadam yang berliku melewati perbukitan, savana, dan pantai, sukses membuat perut mulas dan pinggang patah-patah. Saya tidak mengira akan duduk di atas motor selama itu.  Oh iya, saat itu usia saya masih agak muda: 53 tahun.

Dalam perjalanan, tak ada rumah penduduk yang kami temui demi bisa bertanya arah pada penghuninya, kecuali sapi-sapi yang dibiarkan lepas merumput. Sinyal ponsel raib. Satu-satunya petunjuk adalah ucapan pemilik kios bensin di ujung pertigaan jalan Trans Flores sebelum kami belok kanan ke jalan makadam.

Terjebak di jalanan putus menuju Denge. Harus menunggu air laut surut.

“Ikuti terus jalan itu sampai di Desa Denge, baru belok ke kiri.”

Bahwa jalan satu-satunya itu putus tergerus air laut pun tidak kami ketahui. Jalur yang kami tempuh sepanjang tiga jam pertama, kurang dari separuh dari total perjalanan, adalah menyusuri pantai. Di situlah kami menemukan jalan yang putus terendam air. Bersama kami, ada mobil berplat DK. Syukurlah kami tidak sendirian. Untuk memastikan jalur ini benar, kami bertanya pada pengemudi motor dari arah seberang. Memang benar ini arah ke Waerebo. 

“Sabar, ya, Kak. Sebentar lagi air laut surut dan kakak bisa menyeberang,” katanya menenangkan kami. 

Perjalanan berlanjut menyusuri jalanan yang sepi. Savana di kiri dan laut di kanan. Bebatuan berwarna putih terhampar di sepanjang pantai. Andai dekat rumah, kami pasti akan memungutnya untuk hiasan di rumah. 

Pantat semakin panas. Dalam hati ingin menyerah, tetapi suami menghibur, menurutnya sudah  kepalang tanggung. Ini sudah dekat. Baiklah, lanjut. Tiba-tiba, sebuah motor menyalip kami. Dan plat motor itu W, alias Sidoarjo. Waw, jauh-jauh ke Flores dibalap sesama warga Sidoarjo.

Saat tiba di Denge, rasanya lega banget. Setidaknya ancaman pinggang copot tak lagi mengintai. Selanjutnya kami harus berjalan kaki, maka motor wajib dititipkan kepada warga. Di warung satu-satunya sebelum menerobos hutan, kami makan mi rebus telur ceplok dengan harga di atas rata-rata. Ternyata perjuangan belum berakhir, kawan. Ini baru setengahnya. 


Treking 3,5 Jam 

Orang-orang di warung itu mengatakan, jarak tempuh menuju Waerebo membutuhkan waktu dua jam. Baiklah, waktu menunjukkan pukul dua siang ketika kami merasa siap mendaki. Bila tidak ada hambatan, tentunya kami akan tiba di Waerebo sekitar pukul 4 ketika suasana masih terang. Dengan ceria, kami memulai pendakian menembus hutan lebat.

Menurut yang kami baca di internet, trek menuju Waerebo dikenal sebagai salah satu jalur pendakian paling menantang di Flores. Medan curam dengan jalur jalan setapak tanah yang sempit dan berbatu. Medan yang memerlukan stamina bagus. Melangkahkan kaki pun harus ekstra hati-hati.

Hujan. Di tengah hutan. Tetap harus berjalan jika tak mau tidur di antara pepohonan

 

Namun, di setiap langkah, suara-suara alam—kicauan burung, gemerisik daun, dan gemericik air dari sungai-sungai kecil—akan menemani perjalanan dan menciptakan rasa kedamaian di tengah tantangan fisik yang ada. Begitu kata Om Google. Mari kita buktikan!

Satu jam pertama menempuh jalan setapak mendaki, melewati jajaran tanaman pinus  dan tanaman lain khas hutan tropis yang sejuk. Kami  masih bisa tertawa riang. Ketika jalan naik semakin terjal napas kami kian pendek. Kami irit tertawa dan berjalan lebih pelan. 

Dari arah belakang, kami mendengar suara beberapa orang yang datang mendekat. Mereka adalah satu keluarga dari Malang, ditemani seorang guide. Salah satu peserta usianya jauh di atas kami. 

“Ayo semangat!” katanya saat menyalib.  

Jauh-jauh ke Flores, ketemu orang dari Jawa lagi. Tadi Sidoarjo dan sekarang Malang.

Beberapa menit kemudian, kami mendengar suara langkah kaki cepat di belakang. Seorang lelaki lokal tanpa alas kaki memanggul beras 10 kilogram yang ditahan dengan tangan kiri. Sementara, tangan kanannya menggenggam jeriken berisi BBM; kira-kira dua puluh lima liter. Pak Oscar namanya. Kami bercakap sebentar. 

Ia berkisah, ia bertugas sebagai  messenger. Sehari bisa dua atau tiga kali  turun ke desa untuk berbelanja kebutuhan di Waerebo. Melihat cara berjalan Pak Oscar yang cepat dan panjang langkah, kami merasa seperti anak ingusan yang baru belajar naik sepeda.

Dua jam perjalanan, sampailah di hutan kopi yang tingginya tiga atau empat kali tinggi tubuh kami. Hujan mulai turun. Untunglah kami membawa jas hujan. Agar bisa sampai di Waerebo sebelum senja, kami tetap berjalan menerobos hujan. Sesekali kami berhenti karena napas ngos-ngosan, ketahuan jika tak rajin olah raga. Saat jalan kian menanjak, tebersit rasa sesal, mengapa memilih ke Waerebo yang jelas-jelas harus treking tanpa alternatif?  Lagi-lagi suami menghibur. Satu jam lagi sampai. 

Mencapai tiga jam perjalanan, kami mendapatkan dua hadiah. Hujan berhenti dan kami berdiri di batas jalan yang menanjak. Kami melipat jas hujan dan mulai bisa tersenyum manis. Ya, setinggi-tinggi tanjakan, akhirnya sampai juga di turunan.

Dengan riang, kaki kami menyusuri jalanan yang menurun. Kabut tipis mulai turun. Kami mempercepat langkah. Setengah jam kemudian, mata kami menangkap atap lancip khas yang fenomenal itu dari kejauhan. 

Bangun pagi dan berfoto bersama turis lain yang tidur satu atap

Seketika lelah di tubuh lenyap begitu saja. Desa kecil yang terletak di lembah sempit dengan latar belakang pegunungan dan kabut, tiba-tiba muncul seperti sebuah negeri dongeng. Bentuk rumah adat khas Waerebo, yang dikenal sebagai Mbaru Niang, dengan atapnya yang tinggi, runcing menjulang seolah-olah ingin menyentuh langit, adalah daya tarik yang segera mengisap sepenuhnya perhatian kami. Inilah negeri dongeng, kesunyian yang terisolasi oleh gunung, bukit dan hutan, benar-benar di luar bayangan orang kota yang terbiasa dengan deru knalpot dan laju kereta api. 


Penyusup & Penghisap

Yes! Waerebo, akhirnya kami menemukanmu!

Detak jantung terpompa oleh rasa takjub dan bangga. Tak terkira rasa bahagia terpancar melebihi rasa nyeri sepasang kaki yang telah melangkah selama 3,5 jam dan pinggang pegal karena duduk di atas motor selama 8 jam. Total perjalanan adalah 11,5 jam.

Bersama suami dan Mbaru Niang

Seorang petugas dari Desa Adat Waerebo menyambut kami dengan ramah. Tujuh bangunan lancip pun turut menyambut dengan kemagisannya: hitam, diam, mengintai. 

“Mbak, Mas, tolong periksa kaki-kakinya,” tegur guide yang menemani keluarga dari Malang saat melihat kedatangan kami. 

Pak suami menatap kaki saya, lalu dia berbisik: ada lintah di kakimu! Seketika saya melompat-lompat ngeri. Ternyata di kaki saya ada sekitar lima  lintah yang sudah gemuk! Ketika suami mencabut salah satunya, darah mengucur dari kaki saya. Makin panik! 

Akhirnya guide yang baik itu menyiramkan minyak tanah ke kaki saya dan lintah-lintah yang mulutnya menempel erat pun terlepas. Ternyata, perjalanan hujan tadi adalah saat empuk bagi para lintah untuk menyusup ke tubuh kami, lalu mengisap sebanyak-banyaknya darah demi kegendutannya sendiri. Dasar lintah darat!  

(bersambung)

Edited: YA


No comments