Ditulis oleh Febriyanti DS
Ketidaknyamanan bisa muncul dari hal sederhana. Bisa menerimanya atau berkata lantang untuk mengubahnya menjadi kenyamanan pribadi, itu sebuah persoalan.
Di ruang tunggu dokter yang penuh sesak, waktu terasa melambat. Saya memperhatikan kakak saya yang duduk tenang di sofa panjang sambil bermain ponsel di antara udara dingin dan aroma antiseptik.
Di sebelahnya, seorang perempuan muda duduk bersila. Kaos kaki putihnya—yang bernoda hitam—mengarah tepat ke kakak saya. Tanpa kata-kata, saya mendelik dan mengangkat alis. Kakak saya tersenyum kecil, menggeser posisinya ke ujung sofa; sebuah tarian tanpa suara tentang rasa dan sopan santun.
Pelajaran Tata Krama Kala Itu
Pemandangan ini membawa saya kembali ke masa kecil, ke dapur rumah dengan aroma rendang yang menguar dari tungku. Ibu saya, perempuan Minang dengan pembawaan tegas, selalu menjunjung tinggi tata krama budaya Jawa. "Duduk di kursi makan dengan kaki diangkat itu tidak sopan," katanya.
Saat saya bertanya dengan polos tentang duduk lesehan, beliau menjawab bijak. "Itu pun lihat dulu, kita sedang duduk bersama orang dari daerah mana."
Ayah yang berdarah Jawa–Sunda menanggapi lebih santai. "Asal tidak mengganggu orang lain." Dua pandangan berbeda yang membentuk pemahaman saya tentang ruang dan hormat.
Pelajaran tentang bahasa tubuh dan kesopanan ini terus mengikuti perjalanan hidup saya. Dalam sebuah penerbangan, saya menyaksikan bagaimana ketidaknyamanan bisa muncul dari hal sederhana. Dari kursi penumpang di samping lorong, saya melihat seorang teman di kursi tengah gelisah akibat penumpang yang duduk dekat jendela kakinya diangkat, sepatunya mengarah tepat ke arah wajahnya.
"Astagaaa, itu kaki ngapain sih? Kayak pajangan di depan muka!" keluhnya kemudian, suaranya campuran humor dan kejengkelan.
Memilih untuk Berani
Aturan-aturan ketat tentang sopan santun ini sempat memicu pemberontakan kecil di masa remaja saya. Suatu sore yang panas, dengan hati membara dan perasaan tertekan oleh segala aturan yang terasa mengekang, saya mengemas ransel kecil berisi pakaian dan buku favorit. Berdiri di ambang pintu, tas di punggung, saya merasa seperti petualang yang siap menaklukkan dunia. Namun, pertanyaan-pertanyaan sederhana menggerogoti tekad: "Makan apa nanti? Tidur di mana?"
Akhirnya, dengan langkah gontai, saya kembali ke kamar—setengah malu karena tidak berani melangkah lebih jauh, sekaligus lega karena sadar bahwa rumah, dengan segala aturannya, tetap menjadi tempat yang aman. Hari itu saya belajar bahwa kadang keberanian terbesar justru dalam memilih untuk tinggal dan menghadapi apa yang ada di hadapan kita.
Pelajaran tentang keberanian ini ternyata sangat berharga ketika menghadapi tantangan di masa dewasa. Ketika perubahan besar melanda perusahaan tempat saya bekerja, pilihan sulit menghadang. Setelah hampir separuh hidup di dunia korporat, saya memberanikan diri mencoba bidang baru yang tidak pernah saya impikan. Awalnya penuh semangat, tapi perlahan keraguan menggerogoti. Setiap pagi, pertanyaan itu muncul di benak saya seperti bayangan yang enggan pergi. Apakah ini benar-benar jalanku? Atau aku hanya memaksakan sesuatu yang tak pernah benar-benar cocok dengan mimpiku?
Mengikuti Kata Hati
Warisan budaya dari kedua orangtua saya—Minang yang tegas dan Jawa-Sunda yang lentur—telah menanamkan pemahaman mendalam tentang keseimbangan antara ketegasan dan keluwesan dalam mengambil keputusan. Seperti ayah yang mengajarkan "asal tidak mengganggu orang lain" dan ibu yang menekankan pentingnya memahami konteks budaya, saya belajar bahwa keberanian sejati berarti menciptakan ruang yang harmonis, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Nilai-nilai ini menjadi panduan saat saya memutuskan untuk mencari jalan baru yang lebih sesuai dengan panggilan hati, meski itu berarti meninggalkan sesuatu yang awalnya tampak menjanjikan.
Proses melepaskan diri dari situasi yang tidak tepat ini mengajarkan saya tentang persahabatan yang sejati. Seperti notifikasi yang terus berdering tanpa henti, beberapa pertemanan membawa kebisingan yang tidak perlu; menciptakan kegaduhan yang mengalihkan dari esensi kehidupan yang lebih bermakna.
Seperti teman yang sibuk menyebarkan cerita orang lain dan menghabiskan waktu di grup media sosial yang penuh drama, hubungan itu menjadi distraksi yang akhirnya harus saya batasi. Meski awalnya tidak nyaman, setiap langkah menjauh dari kebisingan digital membawa ketenangan baru dalam hidup saya. Membatasi diri dari energi yang menguras ini terasa seperti mematikan notifikasi yang tidak penting: sederhana nan membebaskan, membawa kedamaian untuk fokus pada hal yang benar-benar bermakna.
Mulai dari Diri
"Angkat kaki" bukan sekadar tentang berpindah tempat atau mengubah posisi tubuh, tetapi tentang keberanian mendengarkan bisikan hati dan bergerak ke arah yang lebih sesuai dengan jiwa. Dalam setiap perubahan, ada kesempatan untuk memahami diri lebih dalam dan membangun lingkungan yang selaras dengan hati.
Seperti kakak saya yang diam-diam beralih posisi di ruang tunggu dokter, atau seperti saya yang akhirnya menemukan jalan yang lebih sesuai dengan panggilan jiwa, kadang perubahan terkecil bisa membawa kita pada kedamaian yang lebih besar. Sekadar menghindari persoalan angkat kaki, tetapi berlanjut pada perenungan yang lebih dalam tentang bersikap.
Jadi, kapan terakhir kali Anda berani mengambil keputusan untuk diri sendiri?
Edited: WE
No comments