100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Akankah Pram Update Story di Instagram atau Menulis di Wattpad?

Ditulis oleh: Jiphie Gilia Indriyani


Bayangkan Pramoedya Ananta Toer hidup di era sekarang. Bukan di pengasingan Pulau Buru. Bukan juga di balik tumpukan naskah buku yang disensor pemerintah. Namun, di depan layar laptop ditemani secangkir kopi.


Jemarinya lincah mengetik dan sesekali ngetweet sinis tentang pemerintahan. Apakah Pram akan menulis thread cerita AU? Apakah dia akan memanfaatkan Wattpad untuk menulis ulang Bumi Manusia dengan ending yang terbuka? Atau membuat trik mudah menulis cerpen ala TikTok? Atau justru ia bakal jadi korban algoritma yang menenggelamkan suara-suara kritis?


Menulis adalah Perjuangan

Di zamannya, menulis bukan hanya sekadar mengetik, tetapi bertaruh nyawa. Pram berkarya di tengah tekanan, dari meja redaksi sel tahanan. Buku-bukunya dibakar, idenya dicekal, tetapi gagasannya terus hidup. Dia tidak punya kemewahan viral, tidak ada retweet, tidak ada engagement rate. Satu-satunya “like” yang ia dapat adalah dari pembaca—mereka yang berani menyelundupkan karya—di balik peringatan dan larangan.

Jika kita melihat dari perspektif teori sastra, karya Pram menunjukkan kekuatan politik bahasa seperti yang dikemukakan Pierre Bourdieu. Pram menulis tidak hanya sekadar berbagi cerita, dia menantang struktur sosial dan kekuasaan yang mengendalikan narasi sejarah. Pembaca tidak hanya menerima karya Pram sebagai teks hiburan, tetapi sebagai ajakan berpikir ulang tentang realitas yang mereka alami. Dengan kata lain, Pram menggeser ekspektasi pembaca terhadap sastra, dari sekadar estetika menjadi alat perlawanan.

Coba bandingkan dengan hari ini. Setiap orang bisa menerbitkan tulisannya dalam hitungan detik. Mem-publish tulisan dan idenya di berbagai media. Ada berbagai alternatif yang bisa dipilih: tidak perlu dicetak; tidak perlu izin untuk tayang; tidak perlu melewati editor; bahkan tidak perlu khawatir diberedel. Setiap orang benar-benar diberi kebebasan di era digital. 

Namun, masalahnya dunia digital tidak sepenuhnya ruang bebas. Sekarang, sensor tidak lagi berbentuk larangan pemerintah atau tidak lolos redaksi, melainkan algoritma yang menentukan siapa yang layak muncul di beranda. Tulisan kritis dan membangun bisa tenggelam di antara konten viral yang lebih ringan. Pram mungkin tidak akan dicekal, tetapi apakah dia bisa mengalahkan video Tiktok 15 detik yang lebih menarik perhatian?


Kebebasan Semu

Kita sering berpikir bahwa digitalisasi memberi kebebasan lebih besar. Namun, kebebasan di era digital bukan hanya soal bisa menulis, tetapi soal bisa didengar. Meminjam pernyataan Antonio Gramsci, kontrol tidak lagi berbentuk represi langsung, melainkan melalui dominasi kultural yang menentukan apa yang layak didengar dan apa yang diabaikan. Jika Pram masih ada, dia mungkin tidak lagi dicekal pemerintah, tetapi mungkin oleh sesuatu yang lebih licik: perhatian kita yang semakin pendek dan algoritma yang semakin selektif. Jadi, apakah dunia digital ini lebih bebas dari zaman Pram? Atau kita hanya berpindah dari satu bentuk sensor ke bentuk lain yang lebih halus?


Edited: APW



No comments