Ditulis oleh Yulfarida Arini
Saya divonis menderita kencing manis. Tetapi saya menolak menghabiskan sisa hidup dengan pahit. Saya tak ingin seperti almarhumah ibu saya, yang lima tahun terakhir hidupnya harus cuci darah, dengan mata rabun, ke mana-mana bawa obat bermacam-macam, tiap bulan kontrol ke berbagai dokter spesialis, dan setahun dua atau tiga kali opname. Semua itu gara-gara diabetes mellitus yang diidapnya. Saya ingin sampai tua nanti tetap bisa salat dengan normal, berkegiatan dan bepergian tanpa halangan, tetap nyetir sendiri ke mana-mana, naik turun tangga dengan lincah, menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama suami, dan mendampingi anak semata wayang hingga dewasa.
Pengobatan Tiga Pilar
Karena itu, alih-alih mengikuti saran dokter medical check up untuk segera konsultasi ke spesialis penyakit dalam, saya memilih cara alternatif untuk menaklukkan diabetes mellitus. Bukan dengan obat-obatan atau jamu-jamuan seperti ibu saya dan jutaan penderita diabetes lainnya, melainkan dengan tiga hal: stop makan gula dan karbohidrat, puasa kesehatan dan olahraga yang berfokus pada penguatan otot.
Saya pun stop makan nasi, roti, mi dan teman-temanya. Kalau minuman manis saya memang kurang suka. Yang agak berat adalah berhenti makan buah-buahan kesukaan saya. Saya hanya boleh dan sangat dianjurkan banyak makan alpukat. Selain alpukat dan jenis beri, hampir semua buah ternyata tinggi gula, kurang sehat buat diabetes.
Lantas makan apa? Saya banyak makan protein hewani, lemak dan sayuran hijau. Makan sampai kenyang. Saya makan telur beserta kuningnya antara 3 – 5 butir sehari. Juga banyak makan ayam, daging, ikan, dan tahu tempe. Gadoin lauk saja, tanpa nasi.
Saya juga melakukan intermittent fasting (IF) alias puasa kesehatan. Dalam sehari, saya membatasi jam makan dalam kurun 4-6 jam saja. Saya pilih tidak sarapan, makan siang pukul 13.00, kemudian makan lagi pukul 19.00. Setelah itu, saya tidak makan apa-apa lagi sampai jam makan siang berikutnya. Namun saya tetap minum yang tidak mengandung kalori, seperti air putih, teh dan kopi tawar.
Apakah tidak lapar? Tentu saja lapar. Apalagi saya ini terbiasa makan tiga kali sehari. Pakai nasi. Awalnya paling berat menahan lapar antara pukul 9 hingga 11 pagi. Perut kukuruyuk terus. Mungkin karena biasanya jam 8 sudah sarapan. Tetapi kalau dibiarkan, rasa lapar itu menghilang. Ya seperti kita menjalani puasa Ramadan, seminggu pertama pasti merasa lapar dan mungkin lemas, tetapi tiga minggu berikutnya biasa saja sampai Lebaran tiba.
Apa itu IF?
Di dunia perdietan, Intermittent Fasting dikenal juga sebagai time-restricted eating. Prinsipnya adalah membatasi waktu makan, bukan sekadar membatasi jumlah kalori dan jenis makanan yang dikonsumsi. Istilah yang sering dipakai adalah jendela puasa dan jendela makan. Pada saat jendela puasa, kita tidak makan apa pun yang mengandung kalori. Namun masih diperbolehkan minum, dan bahkan harus cukup minum. Karena itu, puasa jenis ini disebut juga water fasting, alias puasa yang masih boleh minum. Berbeda dengan puasa ibadah yang pada umumnya merupakan dry fasting, tidak boleh minum juga. Begitu tiba jendela makan, maka kita boleh makan minum yang mengandung kalori, meski dalam kasus diabetes tetap harus membatasi karbohidrat.
Pengaturan jendela puasa dan jendela makan biasanya pakai kode angka. Contoh popular adalah IF 16/8, yang artinya 16 jam jendela puasa dan 8 jam jendela makan. Kalau baru belajar biasanya disarankan IF 12/12, lalu IF 14/10, dan setelah terbiasa boleh IF 16/8. Kalau untuk mengatasi diabetes, disarankan minimum 18/6. Untuk tujuan tertentu, dikenal juga puasa panjang alias Long Fasting (LF). Kalau sehari makan hanya sekali atau IF 23/1, namanya OMAD (one meal a day). LF paling ampuh untuk mengatasi diabetes tipe 2 adalah LF 48 – 72 jam, tiap 2 – 3 bulan sekali. Saya pernah puasa makanan sampai 2 hari. Alhamdulillah aman dan kuat.
Mekanis IF Untuk Atasi DM
Bagaimana sih mekanismenya kok puasa bisa menurunkan gula darah? Cukup kompleks kalau dijelaskan karena menyangkut kerja hormon insulin. Kalau kita makan terus-terusan, apalagi gula dan karbohidrat, glukosa darah jadi tinggi terus. Kalau kita stop karbohidrat, lalu membatasi waktu makan, maka metabolisme tubuh akan berkesempatan menghabiskan glukosa darah yang ada, dan membongkar cadangan lemak yang akan diubah menjadi glukosa supaya sel-sel tetap mendapat pasokan bahan bakar.
Dalam waktu tiga bulan menjalani pola makan baru plus IF, hasil periksa HbA1C yang awalnya 12.2% --setara dengan kadar glukosa darah rata-rata 350 mg/dl—turun ke 6.0%. Normalnya 5.6% atau kurang. Itu tanpa obat. Hanya dengan pengaturan pola makan di atas. Kalau HbA1C sudah 5.6% tiga kali berturut-turut –dalam kurun 6 bulan—insyaAllah saya bisa makan normal lagi seperti orang kebanyakan.
Bonusnya: sekarang saya jadi langsing dan kulit wajah lebih kinclong!
***
Editor: Titie Surya
No comments