Karya Metta M
BAGIAN 1
Aku sudah menolak ajakan Sal untuk berenang sore ini, tapi saat aku menyebutkan alasannya, sahabat terbaikku sejak dalam kandungan itu menertawakanku.
“Jadi, kau mendapat firasat,” ujarnya bersungguh–sungguh, kemudian diikuti dengan gelak tawa yang menusuk—ah, dangkal saja, sih—hatiku.
Sebenarnya aku sendiri tidak mau menyebut hal itu sebagai firasat; menyebut kata firasat membuatku merasa tua. Kau tahu, kan, orang–orang tua sering berbicara mengenai hal itu—“Jangan ke sana, firasat Ayah tidak baik.” Namun, aku merasakannya, firasat yang—seperti pada umumnya—tak baik juga.
Saat berjalan menuju danau, sesuatu seperti memberati kakiku, dan jantungku seakan memiliki perut; perut yang mual; mual yang pahit, seperti pahit di pangkal lidah, pahit yang kau rasakan setelah muntah, muntah karena perutmu mual, hanya saja ini di jantung, dan karena di jantung itulah maka ia disebut firasat.
Dan benarlah, sesuatu terjadi. Seseorang muncul begitu saja di sana, bahkan ketika kami baru seperempat jam di dalam danau—tunggu, bukan, sebenarnya ini bukan danau; ini hanya sebuah kubangan yang dulu, berpuluh–puluh tahun lalu, dibuat oleh orang–orang yang mengira di sini ada emas, tapi tentu saja tidak ada; setelah menggali selama berbulan–bulan, mereka hanya menemukan apa–apa yang bukan emas; apalagi kalau bukan batu dan tanah dan cacing; cacing yang gemuk, begitu gemuknya hingga mereka mirip babi ompong, dan orang–orang yang menggali lubang itu—karena begitu lapar dan tak memiliki uang—akhirnya memanggang cacing–cacing itu lalu menjualnya dengan memberi nama dagang yang sangat bagus untuk dagangan mereka itu, dan dagangan itu laris; orang banyak yang suka cacing babi, babi cacing itu, dan akhirnya para pencari emas itu pun kaya raya; tapi bagaimanapun juga, usaha itu harus berhenti: dari lubang itu tiba–tiba saja keluar air yang sangat deras; orang–orang itu sudah berusaha untuk membendung mata air tersebut; tapi air adalah air, kau sering tidak memiliki daya apa–apa saat harus menghadapinya; jadi begitulah, lubang cacing babi, babi cacing itu terpaksa ditinggalkan dan kini menjadi kolam di mana aku dan Sal, dengan sepenuhnya telanjang seperti cacing babi, babi cacing yang katanya tengah berdiam menunggu saat yang tepat untuk kembali keluar, saling melempar tatapan panik, ketika orang itu, maksudku perempuan itu, perempuan yang tengah hamil itu, mulai melolosi bajunya satu persatu hingga hanya tinggal pakaian dalam berwarna hitam selutut, lalu bergerak memasuki danau. Kengerian muncul di mata Sal.
“Hai, Nyonya, Ibu, Perempuan! Jangan masuk! Kami sudah lebih dulu di sini! Jangan masuk!”
“Kami telanjang!” teriakku, dan Sal seketika menampar mulutku.
“Diam!” desisnya. “Kau baru saja memberitahukan kelemahan kita!”
“Bukan itu saja kelemahan kalian,” ujar perempuan itu, entah bagaimana ia bisa mendengar kami dari jarak sejauh itu, “kalian juga rombengan.”
“Hei!” seru Sal. “Kami tidak rombengan!”
“Terserah kau saja,” sahut perempuan itu seraya tetap memasuki danau.
“Hei!” seru Sal lagi. “Ini bukan tempat berenang bagi perempuan!”
“Apalagi yang hamil,” seruku—dan Sal sekali lagi menamparku; aku tak mengerti kenapa ia begitu suka menamparku.
“Aku tidak hendak berenang,” sahut perempuan itu. “Aku hendak melahirkan.”
Jauh sebelum ada danau ini, ada seorang perempuan tua, sangat tua hingga kau akan sulit percaya bahwa ada orang setua itu. Tubuh orang tua itu tidak sekadar bungkuk, tetapi sudah tertekuk tepat di perut. Jika ia berjalan kedua tangannya menyentuh tanah, berkejaran dengan rambutnya yang putih dan tipis dan tinggal beberapa helai saja, dan jangan tanya tentang keriputnya; kau bisa menyelipkan uang logam di antara lipatan–lipatan keriput itu, dan uang itu tak akan jatuh meski seandainya perempuan itu tiba–tiba berdiri dengan tubuh lurus kemudian berlari kencang.
Sewaktu muda perempuan tua itu pernah hamil dan ketika waktu melahirkan sudah dekat, perempuan itu naik ke atas sebuah pohon yang sangat besar, yang pada batang atasnya terdapat sebuah lubang yang cukup untuk menampung dua orang. Perempuan itu masuk ke lubang itu dan melahirkan di sana; tetapi ia tak pernah memiliki bayinya: dalam lubang itu ada seekor beruang, dan beruang itu mengambil bayi perempuan itu, jadi ia pun turun dengan tangan hampa—karena itulah sekarang kami berteriak pada perempuan hamil yang ada di hadapan kami saat ini, berteriak bersamaan. “Jangan melahirkan di sini! Cari saja pohon yang ada lubangnya!”
Perempuan itu tertawa. “Sudah, tapi pohonnya sudah tumbang. Sudahlah,” ujarnya, “jangan cerewet. Terutama jangan cerewet pada perempuan yang akan melahirkan, jika tidak mau mengalami nasib seperti Sal dan Sam.”
Aku dan Sal berpandangan.
“Apa maksudmu?” teriak Sal gusar. “Apa yang terjadi pada Sal dan Sam?”
“Ya,” ujar perempuan itu, “pada suatu hari kedua anak itu memutuskan untuk berenang di sebuah danau bekas lubang orang menambang cacing babi, babi cacing. Sam sebenarnya tak ingin pergi, tetapi Sal berhasil memaksanya, maka mereka pun tetap berenang di sana hingga datang seorang perempuan hamil yang ingin melahirkan di danau itu.”
“Lalu?” Sal menukas.
“Lalu perempuan itu tetap masuk ke dalam danau.”
“Lalu?”
“Lalu bayinya pun lahir.”
Saat ia berkata demikian, aku melihat air di sekitarnya berubah merah, lalu dari dalam air muncul sebuah kepala bayi, disusul dengan kepala berikutnya dan berikutnya dan berikutnya lagi. Kepala–kepala itu kemudian bergerak ke arah kami, perlahan saja, tapi dengan seringai yang membuat nyali ciut, kecut, burut; tapi seringai itu saja tak cukup; kepala bayi–bayi itu memang kepala manusia, tapi dari leher ke bawah adalah tubuh cacing babi, babi cacing.
Tanpa menunggu aba–aba, aku dan Sal berlari keluar dari dalam danau. Kami berlari sekuat tenaga, dan semakin kencang saat kami mendengar suara geraman beruang. Untung saja kami masih sempat memungut pakaian kami.
“Lain kali ingatkan aku untuk mendengarkan firasatmu,” ujar Sal sembari terengah–engah setelah kami merasa sudah cukup aman dari bayi–bayi aneh dan ibu mereka dan beruang tadi dan mulai memasang celana.
“Tapi aku tak mau terdengar seperti orang tua,” jawabku sama terengah–engahnya. “Tunggu,” lanjutku seketika sembari menegakkan tubuh. “Kita memang sudah tua. Setidaknya kau, Sal. Kau sudah tua.”
“Apa maksudmu?” seru Sal. “Jangan bercanda.”
“Tapi benar, Sal, sekujur tubuhmu dipenuhi kerutan. Jika aku menyisipkan uang logam di antara kerutan itu dan kemudian kau berlari, uang itu tak akan jatuh.”
“Kau bohong,” desis Sal. “Aku tak percaya.”
Namun, tak urung muka Sal memutih. Rautnya menunjukkan rasa sakit seperti baru saja ditampar ratusan kali. Aku tak kuasa menahan tawaku. Sal, meraungkan kemarahan, seketika menerjangku, tapi aku sedang selincah cacing babi, babi cacing, jadi aku pun selamat dari kekejamannya. Namun, bagaimanapun juga aku tetap harus menyelamatkan diri, maka dengan tetap terbahak–bahak aku pun berlari, sementara Sal mengejarku dengan tak henti menyemburkan sumpah serapah. Setelah itu hari itu aku tak pernah berfirasat lagi.
(Majalah Kecepatancahaya, edisi 117, tahun ke V)
***
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
Editor: Windy Effendy
No comments