BAGIAN 2
Sepuluh menit menjelang subuh hari itu, Rustam baru saja keluar dari kamar mandi, muka, tangan, dan kakinya masih basah oleh air wudu saat telepon genggamnya berbunyi: Rasdi; Cepat ke sini, aku dapat barangnya, ujar kakaknya itu di ujung sana. Napas Rustam terpotong, ia tak menjawab, tak bisa, ia senang sekaligus takut, Dan ingat, ujar Rasdi lagi,—jangan mengacau lagi.
Azan berkumandang. Rustam mengganti sarungnya dengan celana panjang, baju koko dengan kaus hitam bertuliskan Neverland, memasang jaket dan topi, lalu keluar rumah. Di depan rumah ia berpapasan dengan seorang tetangganya. Seraya membenamkan topinya dalam–dalam ia menjawab pertanyaan “Mau ke mana, Rus? Tidak salat?” dari sang tetangga dengan jawaban singkat: Hehe.
Rustam melompat ke atas ojek yang mangkal di jalan masuk kampung tempat kosnya, lalu mereka pun terbang menuju tempat kos Rasdi. Sambil berpegangan pada pundak sang sopir, Rustam membayangkan wajah Maya, karyawan baru di rumah makan tempatnya bekerja.
Maya satu–satunya karyawan yang memiliki ijazah sarjana dari sebuah sekolah tinggi ternama dan bahkan katanya saat ini ia sedang bersekolah lagi. Sementara yang lain, termasuk Rustam, hanya lulusan SMU, atau bahkan SMP. Maya mengambil jurusan hitung–menghitung uang, dan karena itulah ia langsung diserahi pembukuan rumah makan. Tak seperti Rustam yang hampir enam tahun ini tetap menjadi pelayan, tak ada kenaikan, walau dulu saat melamar di rumah makan itu begitu ia lulus SMU ia pun melamar di bagian pembukuan. Aku bisa menulis, Ras, ujarnya dulu pada Rasdi, dan selama seseorang bisa menulis, ia bisa mengisi buku apa saja, termasuk buku pembukuan, lanjutnya sambil tertawa.
Tentu saja Rustam punya alasan cukup kuat untuk mengaku ia bisa menulis. Hampir seluruh guru bahasa Indonesianya dulu memuji karangannya, dan di SMU ia menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah selama dua tahun berturut–turut. Benar, kan, Rasdi, ujar Rustam lagi. Anak bodoh, sahut Rasdi, terserah kau saja. Rustam terbahak.
Namun, Maya tak keberatan berteman dengan Rustam si pelayan. Gadis dengan rambut berkepang dua dan pipi yang seperti dipulas kulit jambu air itu tertawa pada lelucon yang dibuat Rustam. Dan jika Maya tertawa dunia Rustam seketika cerah, di sekelilingnya tiba–tiba bermunculan puluhan matahari–matahari kecil berkekuatan sepuluh watt, mengambang naik turun seperti ubur–ubur dalam lautan. Namun, seminggu lalu, Sarmin, teman Rustam sesama pelayan, menertawakannya.
“Satu–satunya alasan Maya mau berteman denganmu adalah karena ia tak sadar kalau ia sedang berteman denganmu.”
“Kau hanya iri,” sahut Rustam tanpa berani mengucapkannya keras–keras; Sarmin punya kecenderungan menghantamkan kepalannya tanpa pikir panjang pada orang–orang yang berani mempertanyakan pernyataannya.
“Kau tak sadar bau napas betina itu?” lanjut Sarmin.
Ya, bau mulut Maya memang agak aneh. Seperti bau kotoran sapi. Namun, itu mungkin karena gigi gerahamnya sedang bermasalah. Rustam juga begitu setahun lalu. Ia sampai harus mengenakan penutup mulut ganda karena pak Budi, pemilik rumah makan yang juga pensiunan polisi itu, tidak ingin pelanggannya lari karena bau mulut Rustam. Sejak itu Rustam tergila–gila dengan segala produk pembersih gigi dan penyegar mulut. Bau mulutnya lebih segar dari bau pasta gigi rasa mint.
“Itu bau ganja, Saudara,” ujar Sarmin lagi sembari menyeringai. “Ia tinggi setiap saat, setiap waktu. Termasuk saat mengobrol denganmu.”
Rasdi mengambilnya, “Ada apa, Rus?”
Rustam menelan ludah. Betapa bodohnya. Bau ganja saja ia tak tahu. Pantas saja jika Rasdi menyebut Rustam bayi. Ia tak tahu apa–apa. Selama seminggu itu Rustam sengaja menghindari Maya. Dan Maya—ah, betapa bahagianya hati Rustam—menyadarinya. Kemarin ia dengan mudah menggiring Rustam dan kemudian memojokkannya di salah satu sudut dapur.
“Kau pendiam sekarang,” ujar Maya.
Rustam menghirup aroma napas perempuan itu. Tuhan, bisik Rustam.
“Kenapa?” lanjut Maya.
“Sakit gigiku kambuh,” jawab Rustam.
“Oh, kukira kau sengaja menghindariku.”
“Tentu saja tidak.”
“Baiklah,” ujar Maya sambil tersenyum dan mengibaskan salah satu kepangnya ke belakang pundak.
Rustam menelan ludah.
Kemudian, seakan baru teringat, Maya kembali berkata, “Kau tak ada acara besok malam?”
“Apa? Tidak, tidak ada. Kenapa?”
“Kau mau ke tempat kosku?”
“Tentu. Tentu saja.” Maya tersenyum. “Sampai besok, Rus. Oh, jangan lupa, lalapannya bawa sendiri, ya.”
Jantung Rustam seketika meledak, menyemburkan jutaan bintang; ini baru yang namanya Dentuman Besar, Saudara–saudara. Persetan Sarmin, Maya jelas–jelas menyukainya. Yang harus Rustam lakukan sekarang adalah menyamakan frekuensi dengan si Napas Tinja. Itu artinya ia harus segera menghubungi kakaknya.
Rustam merogoh saku celana, mengambil telepon genggamnya, menekan tombol kontak, menghubungi Rasdi. Ia bisa membayangkan raut muka Rasdi saat ia mengutarakan maksudnya.
“Kau yakin?” tanya Rasdi.
“Tentu saja.”
Rasdi terbahak, “Si Bayi mau melahap lalap.”
“Sudahlah,” ujar Rustam, “bisa tidak?”
“Tentu saja bisa. Untuk kapan?”
“Hari ini.”
“Siap.”
Rasdi mendatangi Rustam di rumah makan, menyelipkan sebungkus ganja kering ke tangan Rustam seraya mengacak–acak rambut Rustam dan tersenyum lebar. Ia menolak uang yang disodorkan Rustam. Gratis untuk pelanggan baru, ujarnya.
Rustam tengah mengamati benda itu di dapur rumah makan, saat tiba–tiba Sarmin masuk. Rustam terkejut, benda itu jatuh dari tangannya, tepat di depan Sarmin. Sarmin memungutnya. “Ah,” ujar Sarmin sambil menyeringai. “Aku ambil, ya, Budak Cinta.”
“Hei—”
“Kau tidak mau aku lapor pada Pak Budi, kan?”
Rustam kembali menghubungi Rasdi. “Bisa kau pesankan lagi?”
“Tadi barang terakhir untuk sore ini, Rus.”
“Tolonglah.”
Dan sekarang Rustam dalam perjalanan untuk mengambilnya. Di boncengan tukang ojek Rustam tersenyum–senyum sendiri. Rasdi. Apa jadinya ia tanpa Rasdi. Rasdi yang memeluk dan menenangkannya saat ia menangis di hari pertama ia masuk sekolah dasar. Rasdi yang memeluk dan menenangkannya saat ia menangis di hari pemakaman ibu mereka saat mereka berusia sebelas dan sembilan tahun. Rasdi yang kembali memeluk dan menenangkannya saat entah mengapa ia tiba–tiba menangis di hari pernikahan ayah mereka, enam bulan setelah ibu mereka meninggal dunia. Rasdi yang sekali lagi memeluk dan menenangkannya saat ia menangis di kamar kos mereka yang pertama, sehari setelah mereka memutuskan untuk keluar dari rumah seusai pertengkaran terhebat mereka dengan ayah saat mereka duduk di bangku SMU. Mereka seperti Ben dan Bob, saudara kembar dalam buku seri petualangan kesayangan mereka saat mereka kecil. Mereka bahkan bercita–cita membuat Ben dan Bob versi mereka sendiri, Sam dan Sal.
“Aku yang menulis, kau yang menggambar,” ujar Rustam.
“Siap.”
Sam dan Sal. Tiba–tiba saja senyum Rustam seketika lenyap. Bintang–bintang di dadanya memburam. Sesuatu menyentaknya. Lubang hitam. Apa yang terjadi dengan Sam dan Sal? Tidak, yang lebih penting, apa yang terjadi pada Ras dan Rus? Kenapa langkah mereka seakan berputar–putar di satu titik saja? Dan ini, apa yang sedang dilakukannya kini? Ia dalam perjalanan untuk mengambil benda yang akan membuat napasnya bau, membuyarkan segala usaha yang sudah dilakukannya untuk membuat mulutnya bersih dan segar selama ini. Apa yang terjadi pada Ras dan Rus?
Pertanyaan–pertanyan itu menerjang–nerjang dalam kepala Rustam seperti letupan badai surya. Maka, saat ia telah sampai di depan Rasdi, kalimat pertama yang diucapkan Rustam adalah, “Kau ingat Ben dan Bob?”
“Ya,” sahut Rasdi singkat, “ini barangnya.” Tangan Rasdi memegang bungkusan itu di depan Rustam, menunggu Rustam mengambilnya.
Namun, Rustam malah berkata, “Kau ingat Sal dan Sam?”
“Ada apa Rus? Ini barangnya.”
“Kau ingat tidak?”
“Ya, aku ingat. Sudahlah, ini barangnya—”
Rustam meraup bungkusan ini dan kemudian melemparkannya. Benda itu terbang membentur tembok kamar kos Rasdi dan kemudian jatuh di atas lantai.
“Kenapa kita melupakannya, Ras?”
“Sudahlah.”
“Ceritakan apa yang terjadi pada Sam dan Sal.”
“Mereka mati.”
“Bohong!”
Rasdi membanting bungkusan ganja itu. “Sudahlah, Rus! Itu hanya mimpi! Sudah bukan hal yang aneh jika mimpi mati!”
“Kita bisa memulai lagi. Mungkin kita bisa mengawalinya dengan kembali tinggal satu kos–kosan.”
“Tutup mulutmu, Rus.”
“Aku tak suka jadi pelayan, Ras.”
“Apa kau pikir aku suka dengan hidupku yang sekarang?” ujar Rasdi dengan nada marah. Dengan napas memburu ia melanjutkan, “Sama sekali tidak, Rus. Tapi kita bisa apa?”
“Aku tidak mau jadi pelayan terus. Aku mau menulis Sam dan Sal, Ras.”
Tiba–tiba saja Rustam menangis. Ia menangis seperti yang sudah–sudah, dan masih tetap menangis selama beberapa lama. Namun, ia tak juga merasakan Rasdi memeluk dan menenangkannya seperti yang biasa dilakukannya. Ketika pada akhirnya ia berhenti dan mengangkat muka, ia melihat Rasdi berdiri di pintu kamar kosnya, menatap ke arah luar, ke arah langit yang mulai terang.
Bagaimanapun, satu hari baru telah dimulai. Burung–burung kecil terbang atau hinggap dan berkicau di kabel listrik atau dahan dan ranting pepohonan, daun tumbuh dan bunga bermekaran. Rustam menghapus air matanya, lalu berdiri, lalu berjalan menuju Rasdi, lalu menepuk perlahan pundak kakaknya itu. Namun, tanpa menatap ke arah Rustam, Rasdi melepas tangan adiknya.
Rustam menghela napas. Ia melanjutkan langkah, sebab bagaimanapun, satu hari baru telah dimulai.
~tamat~
Editor: Windy Effendy
No comments