Writers Camp PERLIMA: Perempuan Harus Pesta

 


Ditulis oleh Wina Bojonegoro



Oka Rusmini, salah seorang dedengkot sastra Indonesia, pernah menasihati saya tentang hidup berkomunitas. “Mengelola komunitas itu harus ada pesta-pestanya,” ujarnya kala itu. Apalagi, jika yang dikelola adalah komunitas penulis perempuan. Harus ada kegiatan menyenangkan selain berkutat di depan laptop yang mungkin menjemukan. Begitulah Oka menuangkan gagasannya dengan semangat menyala sambil menikmati kopi di sebuah kedai di kawasan Denpasar.

Sejalan dengan itu, Perempuan Penulis Padma (PERLIMA) pun memiliki agenda yang selalu dibuat menarik. Yakni, belajar, menulis bersama, pesta buku, dan giveaway alias bagi-bagi hadiah. Salah satu wacana yang didengungkan sejak berdirinya PERLIMA pada 2021 adalah kemah sastra atau writers camp.  

Dalam rentang waktu yang panjang, ide itu dimatangkan dan kemudian direalisasikan pada 2024 ini. Nama-nama narasumber diusulkan, demikian pula lokasi. Diskusi tentang tempat lumayan sengit mengingat domisili para anggota yang terserak di seantero negeri, bahkan beberapa tinggal di mancanegara. Namun, para pengurus kemudian menyepakati satu lokasi yang dijamin tak akan pernah gagal mengukir kenangan: Jogjakarta.

Kesepakatan-kesepakatan yang tercapai menjadi landasan panitia untuk menyelenggarakan writers camp perdana PERLIMA pada 25 hingga 27 Oktober 2024. Vila di area persawahan Bantul menjadi inkubator anggota komunitas untuk menyepi dan ngangsu kawruh. Ceritanya sih begitu…

Tetapi, apa yang terjadi? Di hari pertama saja ketika belum semua peserta tiba di vila, pesta sudah dimulai. Selain merayakan ulang tahun beberapa anggota, para peserta sudah asyik menggelar permainan sambil makan tiada henti dan nyanyi-nyanyi nonstop. 

Pada hari kedua, semua peserta dan panitia berlomba tampil menawan dengan dress code yang telah disepakati bersama: wastra Nusantara dan kaus seragam hitam. Buat apa dandan segala? Ya namanya juga pesta. Kami, para perempuan ini terbiasa berdandan untuk menyenangkan diri sendiri. Secara naluriah, selain suka berpesta, perempuan juga pasti pengin selalu terlihat cantik. 

Di tengah para peserta kemah sastra yang menawan, hadirlah narasumber pertama yang mau tak mau menjadi yang terganteng di lokasi. Iqbal Aji Daryono memanaskan vila dengan “pelajaran” bertema Tulisan yang Menarik itu Bagaimana? Di hadapan peserta, bapak dua anak itu mengisahkan penggalan-penggalan pengalaman hidupnya yang ternyata sungguh kaya warna. Tulisan-tulisannya tentang pengalaman dan perjalanannya sarat dengan pengetahuan. 

Sesi Iqbal membuat para peserta sadar bahwa selalu ada sisi menarik dalam tiap pengalaman dan perjalanan hidup yang bisa dibagikan kepada publik (baca: pembaca). Bahkan, perkara sepatu bot kotor saja bisa menjadi cerita menarik. Sebab, ternyata sepatu bot kotor adalah masalah ketika memasuki wilayah Selandia Baru. 

Tak hanya berbagi ilmu, Iqbal juga mengoreksi tulisan para peserta. Sesuai aturan panitia, seluruh peserta wajib mengirimkan tugas preclass sebelum sesi Iqbal. Hari itu, tulisan para peserta dikoreksi satu per satu. Saat itulah para peserta kian menyadari bahwa ternyata menulis itu tidak mudah. 

Usai sesi Iqbal, Penerbit Kanisus hadir sebagai narasumber bidang penerbitan. Diwakili Ibu Victima Pasca, para peserta mendapatkan wawasan tentang seluk-beluk penerbitan reguler, eksklusif, dan digital. Sebagai anggota komunitas penulis, sudah sewajarnya para peserta mengetahui skema penerbitan di penerbit-penerbit mayor.

Yang tak kalah menarik dalam rangkaian writers camp adalah PERLIMA berhasil menggeret Sitok Srengenge untuk membacakan puisi di hadapan para peserta. Dengan suaranya yang khas, bariton kelas berat itu, Sitok memukau seluruh peserta kemah sastra di Resto Jiwa Jawi miliknya. 

Sungguh penampilan yang setara dengan kuliah dua SKS di joglo yang rimbun oleh pepohonan nan artistik. Bagaimana tidak? Tak hanya membacakan puisi, Sitok juga membagikan materi bernas tentang sastra. Lumayan dalam dan berat. Maklum, sastrawan dengan pengalaman segudang tersebut adalah murid kesayangan W.S. Rendra di dunia teater. Sedangkan, di bidang sastra, Sitok punya rekam jejak yang luas bersama Salihara di bawah pimpinan Goenawan Muhammad.  Pada sore yang redup itu, berhamburanlah ilmu dan wawasan tentang sastra dari tokoh yang kini menggeluti dunia seni rupa tersebut. 

Kegiatan hari kedua ditutup dengan sajian lezat nan istimewa di Warung Bu Ageng milik seniman Butet Kertaredjasa. Bagaimana tidak nikmat jika hidangan khas yang diolah langsung Bu Ageng, istri Butet, itu gratis buat seluruh peserta. Ketua PERLIMA R.Wilis sengaja mentraktir seluruh peserta kemah sastra malam itu. Malam kedua itu sekaligus menjadi malam inaugurasi bagi 24 peserta.

Pada hari ketiga alias hari terakhir writers camp, seluruh peserta kembali berpesta. Kali ini, pestanya adalah pesta puisi. Tak tanggung-tanggung, “gadis-gadis” PERLIMA bergantian membaca puisi di pantai Goa Cemara dan area hutan pinus  dengan semangat dan perasaan bahagia yang meluap-luap. Inilah pesta yang sesungguhnya!

Semoga saja writers camp ampuh memotivasi seluruh peserta untuk melahirkan tulisan-tulisan yang lebih berbobot, kaya, dan renyah. 

Sebagai pendiri dan emak bagi 110 anggota PERLIMA, baik yang ikut kemah sastra maupun tidak, saya merasa bahwa menulis membutuhkan atmosfer yang riang gembira, saling dukung, dan saling  memberi ruang. Mari kita ciptakan suasana itu di mana pun kita tergerak untuk menulis. Tetap berdaya dan bahagia!~


Editor: Hep


No comments