Dari Rumah ke Ruang Kelas: Perjalanan Menemukan Makna Kerja Tim

 


Ditulis oleh Febriyanti DS


Kelas Filsafat Ilmu di program Pascasarjana Psikologi Pendidikan terasa berbeda dari bayangan saya sebelumnya. Di usia 50 tahun, saya duduk di antara rekan-rekan mahasiswa yang usianya beragam—ada  yang baru lulus S-1, sudah bekerja, berkeluarga, hingga yang seusia saya. Ruangan kelas yang semula sunyi perlahan hidup saat dosen membagi kami dalam kelompok untuk menerjemahkan dan mempresentasikan sebuah buku.

Saya dipasangkan dengan seorang teman baru, lulusan Psikologi dari universitas ternama. Kontras latar belakang kami justru menciptakan dinamika yang menarik, saya dengan gelar D-4 Kimia Tekstil tahun 1998, dan dia dengan pengetahuan psikologi yang mendalam. Kami bekerja bagai kepingan yang saling melengkapi. Bahkan ketika langit mulai gelap dan satpam kampus mulai memberikan isyarat untuk pulang, kami masih tekun berdiskusi di kampus sampai sekitar pukul 19:00 WIB.

Keragaman usia di kelas kami seperti mencerminkan spektrum kehidupan yang lengkap. Ada yang masih berapi-api dengan idealisme usia 20-an, ada yang menyeimbangkan kuliah, karir dan rumah tangga di usia 30 dan 40-an, ada pula yang seperti saya; mengejar passion di usia 50-an. Namun, saya segera menyadari bahwa usia hanyalah angka dalam kerja tim. 

Hal yang lebih menentukan adalah komitmen dan gaya kerja masing-masing. Ada yang suka menunda hingga mendekati tenggat waktu, ada yang menghilang saat pengerjaan tugas, dan ada yang seperti saya—selalu ingin menyelesaikan tugas jauh-jauh hari. Perbedaan ini mengingatkan saya pada pelajaran berharga tentang kerja tim yang sudah tertanam sejak dari rumah.

Melihat dinamika kerja tim di kampus membawa ingatan saya kembali ke masa kecil. Di rumah, Ibu dan Ayah tidak pernah secara eksplisit memberikan kuliah tentang pentingnya kerja sama. Mereka memilih cara yang lebih halus, tetapi lebih mengena; melalui rutinitas sehari-hari.

”Kalau lihat Ibu sibuk di dapur, tanyakan dulu ada yang bisa dibantu tidak?” Pesan sederhana ini selalu diulang-ulang Ibu. Bukan hanya kata-kata, beliau mencontohkan langsung. Saat mencuci baju, Ibu tidak pernah memilah baju, milik siapa pun. Semua dicuci bersama, dijemur bersama. Prinsip yang sama berlaku untuk piring kotor di dapur, tidak ada yang namanya: ini piring bekas saya makan.

Awalnya, tentu saja ada gesekan. Saya dan kakak sering saling melirik, diam-diam menghitung siapa yang lebih banyak mengerjakan tugas rumah. 

“Kok aku terus yang nyapu?”

“Dia kan yang bikin berantakan, kenapa aku yang membereskan?” 

Itu adalah protes-protes khas yang sering terdengar. Namun, Ibu selalu punya cara sendiri meredakan ketegangan ini.

“Kalau Kakak sudah menyapu, kamu yang mengepel, ya,” kata Ibu suatu hari. Memberikan solusi yang terdengar sederhana, tetapi mengajarkan kami tentang pembagian tugas yang seimbang. Perlahan tapi pasti, kami mulai memahami bahwa bekerja sama bukan soal menghitung siapa melakukan apa, tetapi bagaimana membuat pekerjaan menjadi lebih ringan untuk semua.

Sistem ini tak hanya membuat rumah tetap rapi, tetapi juga menanamkan sebuah pola pikir yang tak ternilai: dalam tim, kita tidak bekerja untuk diri sendiri. Setiap tindakan kita, sekecil apa pun, berkontribusi pada kenyamanan bersama. Tanpa sadar, dapur dan ruang keluarga kami menjadi sekolah pertama tentang kerja tim yang sesungguhnya.

Nilai-nilai yang tertanam di rumah itu ternyata menjadi kompas yang sangat berharga ketika saya memasuki dunia kerja. Di kantor, saya sering teringat ucapan Ibu setiap kali melihat rekan kerja yang tampak kewalahan dengan tugasnya. 

“Ada yang bisa dibantu?” Pertanyaan sederhana yang dulu sering terdengar di dapur rumah, saat itu menjadi pembuka dialog di meja-meja kerja.

Saya masih ingat dengan jelas ketika Teh Sari, rekan satu divisi saya, terpaksa izin karena urusan keluarga yang sangat penting. Tumpukan sampel pakaian dari beberapa pabrik garmen di meja kerjanya mengingatkan saya pada cucian piring yang menumpuk di dapur. Tidak ada gunanya saling tunjuk atau berkata, “Itu bukan tugasku.” Tanpa diminta, saya mulai membantu merapikan tumpukan sampel pakaian tersebut dan data laporan yang mendesak.

“Yan, ini ‘kan bukan job desc-nya Yanti,” kata salah seorang rekan dari divisi lain dengan nada heran. Saya tersenyum, teringat betapa dulu saya dan kakak juga sering berdebat soal ini tugasmu, itu tugasku.

“Dalam tim, tidak ada yang namanya ‘ini bukan kerjaanku’,” jawab saya, mengulang kata-kata yang sering diucapkan ibu saya dulu. “Kalau ada rekan yang butuh bantuan, ya, kita bantu. Siapa tahu, besok kita yang butuh bantuan mereka.”

Filosofi ini rupanya dulu tertangkap oleh atasan saya. Dalam penilaian kinerja tahunan selama 20 tahun, dengan atasan yang berbeda-beda, kemampuan bekerja dalam tim selalu menjadi poin yang disorot dan saya selalu mendapatkan nilai yang memuaskan. Namun, bagi saya, nilai yang diberikan di kertas evaluasi tidak seberapa dibandingkan dengan kepuasan melihat tim yang solid, yang saling mendukung seperti keluarga.

Pernah suatu kali, saat tenggat waktu proyek satu departemen yang sangat ketat, seluruh tim harus lembur. Bukannya saling menyalahkan, kami justru seperti orkestra yang kompak. Ada yang memesan makan malam untuk semua, ada yang membuat kopi di pantry, sementara yang lain fokus menyelesaikan bagian-bagian proyek yang tersisa. Momen-momen seperti ini yang membuat saya yakin bahwa nilai kerja sama yang ditanamkan dari rumah itu universal; bisa diterapkan di mana saja.

Kembali ke bangku kuliah di usia 50 tahun membawa perspektif baru tentang kerja tim. Di kelas Filsafat Ilmu itu, saya melihat bagaimana perbedaan usia dan latar belakang bisa menjadi kekuatan, bukan hambatan. Seperti saat berkolaborasi dengan teman sekelompok saya yang berlatar belakang Psikologi. Dia membantu saya memahami konsep-konsep psikologi yang asing. Sementara saya berkontribusi dengan pengalaman hidup dan cara pandang yang berbeda.

Namun, tantangan dalam kerja kelompok di kampus ternyata punya dimensi yang unik. Beberapa teman yang masih di usia 20-an punya energi dan ide-ide segar yang mengagumkan, tetapi kadang kesulitan dengan manajemen waktu. Mereka yang berada di kisaran usia 30 dan 40 harus mengatur waktu antara tugas kuliah, pekerjaan, dan keluarga. Sedangkan mahasiswa seusia saya, dengan segala pengalaman hidup, terkadang perlu waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan ilmu atau teknologi baru yang digunakan dalam pengerjaan tugas.

“Bu Yanti ini rajin, ya, selalu mulai kerjakan tugas jauh-jauh hari.” Begitu komentar salah satu teman kuliah yang masih berusia 20-an. Saya tersenyum, mengenali bahwa ini adalah kebiasaan yang terbentuk dari puluhan tahun pengalaman kerja. 

“Kalau bisa dikerjakan sekarang, kenapa harus ditunda?" jawab saya, membagikan salah satu hikmah yang dipetik dari perjalanan hidup.

Memasuki semester ketiga, saya semakin memahami bahwa kerja tim di bangku kuliah punya dinamika yang jauh lebih kompleks dari yang saya bayangkan. Setiap kelompok mengajarkan saya pelajaran berharga. Ada yang membuat saya kagum dengan kematangan emosinya; meski usia masih muda. Ada yang meski terpaut usia 25-30 tahun, tetapi bisa menjadi guru yang luar biasa bagi saya dalam hal teknologi dan konsep-konsep baru. Saya belajar bahwa dalam kerja kelompok, bukan hanya kemampuan akademis yang penting, tetapi juga komitmen, stabilitas emosi, dan kemampuan menyeimbangkan berbagai tanggung jawab. Seperti menemukan kepingan yang cocok, butuh waktu hingga akhirnya saya menemukan rekan-rekan yang saling melengkapi dalam mengerjakan tugas

Hal yang menarik, di luar perbedaan gaya kerja ini, saya menemukan bahwa kesadaran berkolaborasi tidak mengenal usia. Ada mahasiswa muda yang sangat berdedikasi dalam tim. Sementara ada juga yang lebih senior, tetapi masih perlu belajar tentang komitmen dalam kelompok. Ini mengingatkan saya bahwa kerja tim adalah keterampilan yang terus perlu diasah, seperti otot yang perlu terus dilatih.

Duduk di kelas pascasarjana di usia 50 tahun, dengan teman-teman seangkatan—yang bisa jadi usia ibu mereka sebaya dengan saya—membuat saya merenungkan betapa nilai-nilai yang ditanamkan orang tua tetap relevan hingga hari ini. Dari dapur rumah ke ruang kerja kantoran, hingga ruang kelas pascasarjana, esensi kerja tim tetap sama: kesediaan untuk membantu, kemampuan untuk mengesampingkan ego, dan kesadaran bahwa hasil terbaik selalu dicapai bersama-sama.

Mungkin itulah yang membuat saya tetap bersemangat menghadiri setiap kelas, mengerjakan setiap tugas kelompok, dan berdiskusi hingga malam dengan teman-teman yang usianya terpaut jauh. Pada akhirnya, kerja tim yang baik memang tidak pernah tentang usia atau latar belakang. Itu adalah tentang bagaimana kita bisa saling melengkapi, saling mendukung, dan bersama-sama mencapai tujuan yang lebih besar; persis seperti yang dulu diajarkan Ibu dan Ayah melalui rutinitas sederhana di rumah. ~


Editor: Ihdina Sabili


2 comments

  1. Membaca tulisan ini menyadarkan saya bahwa belajar tak kenal batas usia. Semoga semakin sukses Yanti, teman SMA ku yang rendah hati dan selalu ceria. Salam dari Bogor.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah menyempatkan untuk mampir. Sukses selalu juga ya untuk teman SMA ku

      Delete