Ditulis oleh Wina Bojonegoro
Penulis tidak bisa lepas dari sejarah hidup yang membekas dan memengaruhi karyanya.
Padmedia Publisher kembali menyelenggarakan Jagong Sastra setelah sempat terhenti karena pandemi. "Puisi sebagai Ruang Artikulasi Sejarah Diri" diangkat sebagai tema dalam Jagong Sastra kelima yang dihelat di Omah Padma, Purwodadi, Pasuruan, pada 10 November 2024.
Puisi sering kali merupakan refleksi dominan dari pengalaman pribadi sang penulis. Setiap penulis tidak bisa lepas dari sejarah hidupnya. Sejarah itu membekas dan memengaruhi karya mereka. Demikian dipaparkan Mashdar Zainal, penulis kondang dari Malang, yang hadir sebagai narasumber dalam Jagong Sastra tersebut
Penerima penghargaan Acarya Sastra bagi pendidik pada 2017 itu larut dalam perbincangan hangat yang dipandu Ayu Trisna, seorang penyair asal Surabaya yang dulunya adalah penyiar. Rintik hujan yang membasahi Omah Padma menambah syahdu acara yang dihadiri para peminat sastra dari Surabaya, Malang dan Pasuruan itu.
Dengan keluwesannya, Ayu sukses menggali tema hari itu dari para narasumber. Selain Mashdar, hadir pula Dewi R. Maulidah. Dewi adalah penyair muda berbakat yang dikenal masyarakat luas lewat Borobudur Writers Festival.
Dara kelahiran Gresik yang kini bermukim di Kota Malang itu menyatakan bahwa masa lalu seseorang berperan penting dalam menciptakan puisi yang autentik. Dewi juga menyebut ingatan sebagai bagian integral dari diri. Dengan demikian, setiap puisi seakan mengekspresikan jati diri sang penulis.
Setiap manusia memiliki sisi puitis yang unik, sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing. Mashdar sepakat dengan pendapat Dewi. Dia mengimbuhkan bahwa penyair hanya bisa menggubah puisi yang berasal dari dalam dirinya dan tidak terpisahkan dari kuasa pengalaman dan perasaan pribadinya. Puisi adalah cerminan diri dan sejarah hidup penyairnya.
Jagong Sastra bertambah gayeng dengan penampilan memukau Ndindy lewat pembacaan puisi teatrikal. Pemain teater kawakan Bengkel Muda Surabaya itu berkolaborasi dengan Cicis. Lewat petikan gitarnya, musisi dari Purwosari yang gemar merangkai lagu-lagu puitik itu membuat penampilan Ndindy makin hidup. Para hadirin pun dibuat kagum oleh peraih Penghargaan Gubernur Jatim bidang teater pada 2009 tersebut.
Dalam sesi tanya jawab, anggota Perlima yang juga dosen Fakultas Hukum Unair, Jani Purnawaty, mengutarakan pertanyaan yang menarik. “Apakah kita bisa menggunakan tutur harian atau harus mengunakan kata-kata yang indah dalam berpuisi?” tanyanya.
Mashdar menyatakan bahwa untuk benar-benar memahami puisi, seseorang harus memiliki pengalaman dalam meresapi makna kata-kata yang tertulis di sana. Puisi bukan sekadar rangkaian kata, tapi bunyi yang bisa sampai ke dalam diri. Mashdar juga melihat puisi sebagai sarana untuk mengekspresikan realitas dan pengalaman hidup penulis.
Ken Hanggara, cerpenis asal Pasuruan yang hadir dalam kesempatan itu, melemparkan pertanyaan menarik. “Selama saya menulis cerpen dan novel, saya mendapati momen sebagai obat yang saya alami. Tetapi ketika saya menulis puisi, saya tidak menemukan hal itu. Bagaimana kita menuangkan gelisah melalui puisi?” ungkapnya.
Dewi menanggapinya dengan penjelasan bahwa proses menulis puisi bisa sangat personal dan intens, berbeda dengan menulis cerpen atau novel. Sebab, puisi berfokus pada perasaan dan imaji yang lebih padat dan mendalam.
Oleh karena itu, bagi sebagian orang, menulis puisi mungkin terasa lebih sulit atau tidak langsung memberi rasa lega seperti yang dirasakan saat menulis bentuk tulisan lain. Namun ketika ingin mendalami kita harus sering masuk ke dunia puisi atau membaca buku puisi.
Jagong Sastra kelima ditutup dengan berbagai harapan. Sebagian peserta mendambakan kelas menulis puisi yang dikemas ala kemah sastra. Dengan demikian, para peserta bisa berpraktik menulis puisi yang hasilnya langsung dikurasi oleh para mentor. (*)
Editor: Hep
Cakep
ReplyDelete