Buat ibu rumah tangga seperti saya, kegiatan itu merupakan sarana belajar sekaligus me time. Berlepas diri sejenak dari aktivitas dapur–sumur–kasur yang itu-itu saja. Segala ekspresi tercurahkan dengan bebas dan lepas. Tak ada tawa tertahan atau tingkah laku malu-malu karena jaga image di depan suami dan anak seperti yang biasa saya lakukan di rumah. Saya menjadi seorang Titie yang sebenarnya. Begitu pun teman-teman lainnya. Mau menyanyi bersahutan, tertawa ngakak, rebutan kamar mandi, bercanda suka-suka hati, semua lepas tanpa beban.
Panitia pun bukan tim yang kaku. Mereka sejak awal mengondisikan acara dengan luwes. Diawali dengan perayaan ulang tahun Ari dengan makanan lezat yang sengaja disiapkan oleh sang birthday girl, dilanjut dengan permainan yang membuat peserta heboh dan semakin akrab. Kemudian, setelah semua kenyang, ruang tengah yang merupakan tempat belajar, makan, dan bersantai berubah jadi ruang karaoke. Tak ada sekat antara peserta dan panitia. Semua menyatu, lebur, dan mencair dalam tawa canda yang renyah—kriuk-kriuk seperti rempeyek kacang.
Di hari terakhir, peserta diajak piknik ala Writers Camp ke Pantai Goa Cemara dan Hutan Pinus Mangunan. Piknik saat itu bukan sekadar piknik biasa. Peserta harus membaca puisi di alam terbuka diiringi orkestra deburan ombak yang memecah bibir pantai. Lagi-lagi, ekspresi para perempuan penulis terasa lepas tanpa beban. Tak merasa malu meskipun harus beraksi di hadapan pengunjung pantai yang lain.
Meskipun agenda membaca puisi di panggung terbuka Hutan Pinus Mangunan gagal karena kalah cepat dengan rombongan lain yang menggunakan tempat itu, kegembiraan kami tak menyusut. Apalagi panitia menemukan tempat lain di Kedai Nata Damar yang tak kalah estetik untuk membaca puisi. Maka, kekecewaan atas "sabotase" panggung Hutan Pinus itu menjadi tuntas tanpa dendam.
Tiga hari penuh kesan selama Writers Camp, penuh kenangan tak berkesudahan. Hingga lewat sebulan, ratusan foto masih bertebaran di sosial media para peserta dengan takarir yang unik dan menarik. Sungguh, ini bukan kamping biasa.
Walaupun di hari terakhir lambung saya berulah karena suhu panas di mobil yang AC-nya gagal dinyalakan, kebahagiaan tak berkurang sedikit pun. Writers Camp tak hanya menutrisi benak dengan ilmu, melainkan juga mengisi kembali energi jiwa. Hati yang riang gembira membuat hormon oksitosin dan endorfin merajai dan menyehatkan tubuh. Terbukti, saya masih sanggup naik ke Punthuk Setumbu dan puncak Gereja Ayam di Bukit Rhema bersama para extenders.
Tak ada pesta yang tak usai. Acara itu boleh berlalu. Namun, cendera mata yang keren sepanjang Writers Camp dan segala kisah yang telah tercipta akan tetap menciptakan jejak dalam ruang kenangan yang akan selalu bisa diceritakan lagi, dan lagi. ~
Foto: Dokumentasi Panitia Writers Camp
No comments