Cinta dalam Dilema Poligami di Dunia Fiksi



Ditulis oleh Jiphie Gilia Indiryani

Topik poligami hampir selalu sepaket dengan bayangan imajiner kebahagiaan laki-laki yang hidup bersama lebih dari satu perempuan, sesuai lirik lagu Madu Tiga gubahan Ahmad Dhani. Di sisi lain, fakta tentang adil tidaknya perlakuan suami terhadap istri-istrinya juga menjadi polemik tanpa akhir.

 

Ada golongan pro yang meyakini bahwa poligami dapat dianggap sebagai sebuah solusi untuk menanggulangi peningkatan kasus perselingkuhan dan prostitusi yang semakin meluas di tengah masyarakat. Sementara, golongan kontra selalu mengaitkan poligami dengan isu ketidakadilan gender. Praktik poligami erat kaitannya dengan budaya dan tradisi sebagian masyarakat, termasuk Indonesia. Sastra sering kali mencerminkan dan memahami dinamika budaya. Sastra sebagai bagian dari masyarakat, memberikan dampak pada manusia, khususnya penikmat karya sastra. 

Beragam narasi fiksi yang mengangkat tema poligami memang identik dengan beberapa rentetan kesedihan yang mengiringinya. Isu kekerasan, keturunan, ketidakadilan, dampak sosial, kesehatan mental, hingga kasus harta dan kekayaan. Satu contoh fenomena ini tampak pada kemunculan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy—novel dengan tema poligami yang best seller—pada tahun 2004. Karya sastra ini kemudian diekranisasi pada tahun 2008. Film bernuansa islami yang mengangkat tema poligami ini banyak mendapat apresiasi masyarakat, terlebih pada tahun itu belum banyak novel islami yang berani mengangkat isu tentang pernikahan yang menormalisasi seseorang memiliki istri lebih dari satu.

Beberapa waktu lalu, muncul novel Hati Suhita karya Khilma Anis—sebuah produk sastra digital—yang berhasil menjadi sorotan cukup panjang karena melewati beberapa tahap perubahan bentuk. Hati Suhita pada mulanya adalah sebuah cerita bersambung yang diunggah penulis pada laman Facebook miliknya. Cerita bersambung ini memiliki pembaca yang cukup antusias menanti kelanjutan ceritanya. Berlatar animo pembaca yang intens memberikan dukungan pada laman Facebooknya, novel ini berhasil diterbitkan. Berkat penerimaan masyarakat yang semakin tinggi, hal ini menjadikan Hati Suhita diekranisasi menjadi film yang tayang di bioskop. 

Berkaca pada dua karya sastra yang memiliki banyak pembaca tersebut, perkembangan sastra digital saat ini patut mendapat perhatian. Hal ini dikarenakan keberadaan sastra dan masyarakat saling mempengaruhi. Sastra dianggap sebagai bagian dari kebudayaan, sedangkan salah satu elemen kebudayaan adalah sistem nilai. Dalam sebuah karya sastra, terdapat representasi nilai-nilai tertentu yang dianggap sebagai norma yang diyakini kebenarannya. Hasilnya, sastra dapat membentuk pola pikir masyarakat melalui pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut.

Dalam konteks penelitian sastra, sosiologi sastra sering dijelaskan sebagai suatu metode dalam analisis sastra yang menggambarkan dan mengevaluasi karya sastra dengan memperhatikan dimensi sosial masyarakat. Pengarang—sebagai bagian dari masyarakat—memotret fenomena yang terjadi, kemudian menjadikannya sebuah isu dalam karyanya. Karya tersebut lalu hadir di tengah-tengah masyarakat, mendapat apresiasi dari peminatnya. Penikmat karya sastra, tidak jarang menerima atau memaknai sebuah karya sastra, bahkan meyakininya sebagai sebuah konflik yang dapat dijadikan bahan pembelajaran.

Menelisik poligami lebih dalam, maka pandangan masyarakat akan semakin tertuju pada satu agama yang identik dengan peraturan poligami, Islam. Poligami tidak selalu identik dengan dunia pesantren, akan tetapi dunia pesantren selalu identik dengan dunia poligami. Potret masyarakat pesantren dengan praktik poligami ini muncul dalam dunia fiksi yang lahir di platform Wattpad. 

Sebut saja beberapa judul novel yang tayang di Wattpad dengan label poligami, tiga diantaranya adalah:  Menjadi yang Kedua, Antara Dua Hati, dan Kenapa Sesakit Ini? Ketiga novel tersebut mengambil latar masyarakat pesantren dalam tema poligaminya. Tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam alur praktik poligami merupakan tokoh-tokoh yang bersinggungan dengan dunia pesantren, mulai dari tokoh santri, tokoh ustad dan ustadzah, tokoh kyai, tokoh nyai, dan beberapa tokoh sampingan yang juga memiliki keterkaitan dengan dunia pesantren. 

Terdapat fakta menarik yang muncul dalam ketiga novel tersebut, yaitu mengenai bagaimana konsep poligami disuarakan oleh masing-masing tokoh di dalamnya. Pemilihan latar sosial pondok pesantren pada objek penelitian memunculkan hasil yang unik. Seluruh novel memiliki benang merah, bahwa konsep poligami dalam ruang hidup mereka adalah hal yang biasa dan wajar, bukan hal yang tabu. Suara-suara tokoh yang muncul dari ketiga novel yang telah diteliti, memiliki konsep yang cukup menarik mengenai poligami. 

Mereka yang setuju atau memiliki suara pro, sebagian besar adalah keluarga dari tokoh suami. Sedangkan pihak kontra dihadirkan sebagai tokoh yang tidak setuju tetapi menerima konsep poligami hadir di hidup mereka, adalah tokoh dari keluarga istri pertama. Jika pun ada tokoh yang kontra dari pihak suami, pasti memiliki gender perempuan. Entah itu ibu atau kakaknya. Ketentuan hukum Indonesia mengenai pernikahan, tidak tampak jelas dalam karya-karya tersebut. 

Berdasarkan fakta yang terungkap di atas, maka penulis novel sebaiknya tidak hanya mementingkan sisi menarik sebuah cerita yang ditulis, tetapi juga harus memperhatikan ketentuan atau hukum yang berlaku di masyarakat agar tidak memunculkan kesalahan dalam pemahaman yang dapat berdampak pada kekeliruan bertindak. Selain itu, bagi pemilik platform novel perlu melakukan seleksi atas substansi novel yang ditulis, agar tidak memberikan pengaruh negatif kepada masyarakat. Sedangkan bagi para pembaca, diharapkan untuk bisa lebih memilah novel yang akan dibaca dengan mempertimbangkan efek akan yang ditimbulkan setelahnya.


Editor: APW    

No comments