Soto, si Pemersatu Bangsa


Ditulis oleh Windy Effendy

Dulu, setiap berangan-angan membuat usaha kuliner, keinginanku selalu berujung pada cita-cita mendirikan warung soto nusantara. 

Menunya berbagai jenis soto di seluruh Indonesia. Mulai dari Soto Lamongan, Soto Ambengan, Soto Banjar, Soto Kudus, Soto Semarang, Soto Betawi, Coto Makassar, Soto Bandung, dan soto-soto lainnya yang bebas dipilih oleh pengunjung di warungku. 

Sayangnya, keinginan tinggallah angan belaka. Aku justru terjerumus pada bisnis kue dan roti, bahkan aku kini berkutat dengan rahang tuna bakar bersama suamiku.

Namun, soto tetap punya tempat spesial di hatiku. Soto menjadi salah satu menu yang rutin hadir di meja makanku semasa kecil. Soto buatan Ibuku khas dengan suwiran daging ayam yang berenang dalam kuah kuning yang bening, potongan daun bawang yang cantik di permukaannya, plus kondimen tanpa tanding: telur rebus iris, rajangan kubis, dan keripik kentang renyah yang ditaburkan di atas nasi. Jangan lupa sambal cabe rebus yang pedasnya bikin huh-hah seharian.

Terpapar menu soto nyaris setiap tiga minggu atau sebulan sekali sempat membuatku muak pada makanan itu. Aku sering menolak soto bila diajak makan keluar. Namun, saat kuliah di Surabaya, salah satu menu pilihan mahasiswa kere paling hits saat itu adalah soto peceren. Itu adalah soto ayam gerobakan yang dijajakan di pujasera pinggir got, dekat parkiran motor. 

Tentu saja, aku terjebak ajakan teman-teman yang dengan riang gembira menyeretku ke gerobak soto pinggir jalan tersebut, atas nama harga yang murah meriah. Sambil menahan mual, aku menyantap soto dengan ogah-ogahan. 

Penyelamat yang membuatku bertahan hingga suapan terakhir adalah koya, kerupuk udang tumbuk yang gurih. Koya yang kutabur banyak di setiap suapan dengan kuahnya—yang berwarna nyaris merah saking banyaknya sambal kumasukkan—membuatku bisa menikmati soto ayam pada masa kuliah.

Aku tidak pernah memasukkan koya banyak-banyak di mangkuk saat mulai bersantap. Koya kuimbuhkan sedikit demi sedikit dalam setiap suapan. Dengan demikian, kuah sotoku tetap bening dan tidak kental karena terlalu banyak koya. 

Itulah pertama kalinya aku mengenal koya, yang terkadang juga disebut poya. Sejak saat itu, di mana pun aku berada dan berjumpa soto, koya selalu menjadi korban. Sewadah penuh pun, asal tersaji di meja, bisa tandas isinya olehku saat itu juga. 

Setelah aku menikah dan mengikuti suami pindah ke Semarang, aku menemukan dunia soto yang berbeda. Aku berjumpa dengan Soto Kudus yang segar, Soto Rumput Boyolali, serta Soto Semarang yang disajikan dalam mangkuk kecil. Soto Semarang yang bening dengan kuah kecap sebagai kondimennya selalu menggodaku. 

Di kota tempat kerja suamiku, soto-soto berdaging ayam itu berkuah bening seperti sup. Rasanya pun sedikit berbeda, ada rasa manis yang light dan rasa gurih yang tipis. Di Semarang, aku lebih memilih Soto Pak Man dibandingkan Soto Bangkong yang legendaris. Soto Pak Man terlihat lebih bersih, bening, dan terasa segar. Anak-anakku juga menjadi penggemar Soto Pak Man yang satu warungnya berada tak jauh dari rumah kami di daerah Manyaran. Soto-soto tersebut tidak disajikan bersama koya. Pendampingnya adalah tempe garit, sate telur puyuh, sate uritan, sate ati ampela, dan lainnya. Kuah di dasar mangkuk kondimen itu yang membuat rasa Soto Semarang lebih pas di lidahku. 

Saat suamiku harus bertugas di Makassar selama satu tahun, aku pun bersenang-senang dengan Coto Makassar tiap kali berkunjung ke sana. Aku menikmati petualangan kuliner bersama Coto Makassar yang berisikan potongan daging sapi dan disantap dengan ketupat. Seperti layaknya pendatang, aku pun melakukannya dengan salah saat pertama kali menikmati paduan coto dan ketupat. Bukannya membelah dua ketupat dan menyendoknya lalu menyesap kuah dan menikmati daging sotonya, aku malah mencemplungkan si ketupat ke dalam mangkuk. Tentu saja, kuah meluber ke mana-mana. Suamiku pun tertawa terpingkal-pingkal melihat kedogolanku. 

Namun, Coto Makassar memang nikmat luar biasa. Kuah bening setengah keruh pas berpadu dengan potongan daging sapi yang empuk. Apalagi, ada pilihan menambahkan jantung, hati, pipi, paru, dan bagian sapi lainnya. Kedai paling populer di Makassar dengan menu andalan Coto Makassar adalah Aroma Coto Gagak. Kata gagak di situ tidak mengacu pada daging gagak sebagai bahan coto, tetapi karena warungnya terletak di Jalan Gagak. 


Hingga kembali ke Surabaya yang menjadi tempat tinggalku saat ini, aku masih menjadi petualang soto. Yang paling favorit masih Soto Ambengan, dengan free flow koya di meja. Privilese itu memungkinkanku bersenang-senang sepanjang menunaikan tugas makan soto. Kendalanya hanya satu: harganya yang semakin tidak ramah di kantong.




Alternatif lain dari soto yang bisa kunikmati—karena aku sangat tidak bisa makan soto sembarangan di pinggir jalan—adalah Soto Cak Har dan Soto Pak Djayus. Dua-duanya adalah tipe Soto Lamongan dengan kuah kuning, bening, dan segar. Keduanya adalah soto berbahan dasar daging ayam dengan pilihan jeroan bila diinginkan. Soto Madura Wawan—yang sering diduga milik suamiku gara-gara namanya sama—menjadi soto daging pilihanku di Surabaya.

Petualangan soto mempertemukanku dengan warung Soto Kudus lezat bernama Soto Kudus Kedai Taman di daerah Gayungan. Dengan rasa yang sangat otentik termasuk menyediakan menu soto dengan daging kerbau, porsinya pun tidak banyak. Dengan demikian, aku dan suami juga anak-anak kami merasa puas dan cukup saat menikmatinya. 

Salah satu soto hits lain yang juga cocok dengan lidahku adalah Soto Banjar Pak Kumis di daerah Ngagel Jaya Barat. Kedai milik keluarga sahabatku itu menyajikan soto dengan kuah putihnya yang lembut. Pelengkapnya adalah perkedel yang lezat plus sambal cabe kering yang nikmat. Soto Banjar juga menjadi salah satu alternatif pilihan menu soto yang menarik bagiku ketika sudah bosan dengan yang lainnya. 

Belum lama ini, petualanganku mengantarkan ke warung soto dengan menu Soto Semarang. Warung tersebut ada di daerah Gayungsari. Di sana tersedia tiga ukuran porsi dengan harga berbeda-beda. Porsi kecil dihargai Rp 7.000, porsi sedang Rp 10.000, dan porsi besar Rp 15.000. Aturan main di warung itu adalah pesan lalu langsung bayar. Setelah itu, soto diantarkan ke tempat duduk kita. Pilihan kondimennya juga beragam, termasuk sate puyuh, sate usus, sate ati, serta gorengan sejuta umat seperti tempe mendoan, tahu isi, perkedel jagung, dan perkedel kentang. 

Aku sengaja mencicip kuahnya sebelum menambahkan sambal atau kecap. Ternyata, kuahnya sangat pas di lidahku. Bahkan soto yang kunikmati di Semarang pun tidak seenak itu. Tanpa perlu menambahkan garam, kecap asin atau manis, aku sudah merasa cocok. Sangat puas! Aku langsung jatuh hati. 

Porsi kecil yang kupesan untuk sarapan pagi itu bersama suamiku ternyata sudah membuatku kekenyangan. Saat itu, aku juga membungkuskan satu untuk anakku yang juga penggemar soto Semarangan. Ternyata, porsi bungkusnya sangat besar! Akhirnya hingga waktu makan malam tiba, menu kami masih saja soto.

Soto-soto yang bertebaran di seluruh Indonesia adalah warisan yang tak boleh punah. Menu sederhana yang mudah didapati di mana-mana itu terbukti mampu menyatukan perbedaan agama, ras, warna kulit, ideologi politik, usia, gender, dan masih banyak lagi. Maka, dengan ini aku tegaskan bahwa soto sangat layak dinobatkan sebagai menu pemersatu bangsa! 



Editor: Hep


No comments