Pulang Blora

 


Ditulis oleh Fifin Maidarina

Setiap pergi ke Blora, aku suka menyebutnya pulang. Kota kecil yang terbilang sepi dan merupakan kota pensiunan ini memang memiliki aura nyaman dan santai. Saat malam, hawanya pun sejuk.

Keluarga besar Mama dan Papa berasal dari kota ini. Sejak menikah, mereka pindah ke Surabaya. Makanya aku lahir dan besar di Surabaya. Namun, setiap liburan panjang, mereka mengajakku ke Blora.

Selain senang karena kumpul dan bisa main dengan sepupu, hal lain yang menyenangkan adalah kulineran. Ingatan akan pengalaman rasa itu melekat hingga kini dan selalu bikin rindu. Oleh karena itu, selain menyukai masakan pedas khas arek Surabaya, aku juga jadi toleran dengan santan dan manisnya masakan ala Jawa Tengah.

Inilah beberapa menu kulineran khas Blora yang wajib kalian coba.

Sate Blora

Dagingnya bisa ayam atau sapi. Sate dari daging sapi, mereka menyebutnya sate jagal. Khasnya adalah bumbu kacangnya yang sangat halus plus kuah santan bening berwarna kuning. Di beberapa kota lain yang jual Sate Blora, seringnya hanya bisa menirukan bumbu kacangnya, tetapi tidak menyediakan kuahnya. Buatku, model yang seperti itu kurang sah.

Penyajian Sate Blora cukup unik. Pertama, pelanggan memilih dulu gaya penyajiannya, mau dengan piring atau daun jati. Kemudian, pelanggan harus memilih pakai kuah atau tidak. Aku pribadi lebih suka sateku tersaji di atas daun jati dengan kuah yang “banjir”. Penjual lantas akan menyajikan bumbu kacang, satu piring untuk satu orang. Dengan demikian, kita bisa meracik sendiri tambahan kecap manis dan sambalnya. 

Oh iya, sambal Sate Blora  juga beda, yakni sambal hijau. Seperti itulah sambal yang tersaji di setiap warung, seragam semua. Tidak ada sambal merah dalam Sate Blora.

Yang tidak kalah unik dari Sate Blora adalah penjual akan terus membakar sate dan menyajikannya di meja selagi kita makan. Mereka yang baru pertama makan Sate Blora mungkin akan kaget dengan kebiasaan itu dan mengira bahwa mereka harus menghabiskan semua sate yang terhidang. Padahal, penjual nantinya hanya akan menghitung jumlah yang kita makan dari tusuk satenya saja. Jadi, tidak wajib dihabiskan ya!

Lontong Tahu

Ini kalau versi Surabaya bisa dibilang mirip tahu telur, tapi tanpa petis. Proses paling menarik yang selalu kuamati dari kecil adalah setelah digoreng, tahunya kemudian dijepit menggunakan dua piring untuk diperas airnya.



Nah, kalau bumbunya, yang mantap adalah kacang gorengnya. Enggak tanggung-tanggung! Banyak banget. Bawang putih dan cabai tak boleh ketinggalan. Tentu tingkat kepedasannya pun bisa disesuaikan. Kecap lokal otomatis sudah ditambahkan di dalam cobeknya.

Isian berupa tahu, telur, lontong, dan kecambah disiram dengan bumbu sebelum disajikan. Daun seledri dan bawang goreng jadi pelengkap di atasnya. 

Rawon Blora

Dari semua kuliner Blora, dulu menu ini sering dibuat sendiri oleh Mama di Surabaya. Sayangnya, aku tidak pernah belajar resep ini darinya. Padahal, rawon ini sangat aku suka, mengalahkan rawon Surabaya.




Ciri khasnya adalah kuahnya yang bersantan. Jadi warnanya tetap hitam karena keluak, tetapi tidak pekat. Ditambah lagi, ada daun so atau daun melinjo yang cukup banyak. Kalau masalah rasa, kecap lokal selalu jadi sisipan. Paduan gurih, manis, dan legitnya santan menyatu dengan sempurna.

Soto Kletuk

Seperti soto ayam pada umumnya, tetapi kuahnya tidak kuning banget, lebih bening. Rasa gurih dari kaldu ayam berpadu dengan kecap manis.



Topping-nya istimewa. Bahannya dari ketela pohon yang ditumbuk jadi gemblong tawar. Lalu diiris, dijemur kotak, terus digoreng. Tidak crunchy banget, tapi cenderung keras. Alhasil, kalau dimakan bunyinya “kletuk”. 

Kopi Santan

Meski di tempat lain mungkin sudah mulai tersedia, bahkan kopi kekinian pun mulai mencampurkan santan atau air kelapa, kopi santan adalah pengalaman rasa yang telah lama kucoba dan melekat dalam ingatan. Pengalaman rasa itu terus kuulang, setiap aku pulang.

Dulu banget, aku harus berjalan menembus hutan untuk menuju warungnya. Sekarang areanya sudah lebih terbuka. Pohon-pohonnya tak lagi terlalu lebat dan masuk ke kampung pedesaan.


Kalau kopi pada umumnya disajikan dengan cara menyeduh dengan air panas, tidak dengan yang ini. Prosesnya adalah seperti kopi klothok yang mana kopi dan air direbus bersamaan, tetapi di sini ditambah dengan santan. Eits, bukan dari santan kemasan. Si Mbah penjual kopi santan ini akan memarut kelapa asli, diperas lalu ikut dimasukkan ke dalam panci bersamaan dengan kopi, air dan gula. Bayangkan, betapa kental, legit dan mantapnya. Tapi jangan coba-coba buat yang tidak tahan dengan ramuan ini, mungkin leher langsung terasa ketarik dan berat.  


Editor: Ari PW

No comments