Lucunya di Mana?

 


Ditulis oleh Yoni Astuti

Berawal dari keinginan untuk bisa menari Gandrung, aku mengenal sambal lucu. Itu merupakan salah satu makanan khas Suku Osing yang kujumpai di Desa Kemiren, Banyuwangi.


Atas rekomendasi Mas Aekanu, pemandu wisata dan pemerhati budaya yang tinggal di Banyuwangi, aku dan dua temanku bertolak ke Desa Kemiren, Banyuwangi. Tujuan kami adalah rumah ibunda Mas Samsul, seorang guru tari yang punya segudang pengalaman. Aku bersama Mbak Didien dan Desi ingin belajar menari Gandrung. Untuk keperluan itu, kami tinggal di sana selama seminggu.


Awal Pertemuan 

Kami tiba di rumah ibunda Mas Samsul pada 3 Januari 2012 sekitar pukul 19.00. Setelah mandi dan salat, kami diajak makan malam. Makanan yang terhidang di meja adalah tahu, tempe, rebusan daun katuk, sup ayam, dan sambal.

“Sambal ini namanya lucu,” jelas Mas Aekanu ketika kami menanyakan sambal di atas cobek tanah liat.

“Lucunya di mana, Mas?” tanya Mbak Didien.

“Lucunya ya di sambal itu.”

Mata kami bertiga serentak meneliti isian sambal di atas cobek. 



“Lha iya, Mas. Sambal ini lucunya di mana?” lanjut Mbak Didien sambil menggaruk kepalanya.

“Sebentar… Sebentar…,” sela Mas Samsul. Dia lantas ke dapur dan kembali ke meja makan sambil membawa setangkai bunga.

“Yang kupegang ini namanya lucu. Diiris dan dijadikan bahan sambal,” jelas Mas Samsul kemudian.

“Oalaaa… .”

Kami bertiga pun ngakak demi mendengar penjelasan Mas Samsul beserta barang bukti lucu yang dibawanya.

Ternyata, lucunya memang ada di sambal yang tersaji di atas cobek tanah liat itu. Betul kata Mas Aekanu. Lucu yang dia maksud adalah kecombrang. Di Banyuwangi, khususnya Desa Kemiren, masyarakat mengenal kecombrang dengan sebutan lucu. Bilang dong dari tadi! Ha-ha...


Langsung Jatuh Cinta

Pengalaman pertamaku bersantap malam dengan sambal lucu alias sambal kecombrang itu begitu berkesan. Bukan hanya karena perkenalan kami yang kocak, tapi juga karena rasanya memang unik. Si lucu, eh kecombrang setelah berpadu dengan bahan-bahan sambal yang lain tetap mengeluarkan aroma segar seperti daun sirih.

Rasa sambal lucu alias sambal kecombrang memang sedikit sepat di lidah, agak mirip sambal ontong atau bunga pisang. Namun, aku benar-benar menikmati tiap suapannya sembari menjelajah keistimewaan rasanya. Rasa sepat membaur dengan pedasnya cabai dan gurihnya terasi, ditambah dengan sensasi aroma kecombrang yang memang lucu, tak bisa digambarkan. Pokoknya, lezat banget!

Aku ketagihan sambal lucu. Selama satu pekan tinggal di rumah ibunda Mas Samsul itu, aku selalu minta dibuatkan sambal lucu. Tiada hari tanpa sambal lucu di Desa Kemiren.

Belajar Membuat Sambal Lucu

Setiap kali ke Banyuwangi, khususnya ke Desa Kemiren, sambal lucu tak pernah absen dari menu. Namun, tidak semua rumah makan menyediakan sambal lucu. Kerinduanku pada sambal lucu yang kali pertama kujumpai di rumah ibunda Mas Samsul pun kian tebal.

Pada akhir Juni 2022, rinduku terobati. Saat itu, aku dan Mbak Ririen menginap di rumah Mbak Rohima, teman sesama asesor kompetensi di Banyuwangi. Di sana, kami benar-benar dimanjakan dengan sambal lucu.

Sama sepertiku, Mbak Ririen pun penggemar sambal lucu. Sehari sebelum berangkat ke Banyuwangi, dia berkirim pesan teks kepada Mbak Rohima. Intinya, dia request sambal lucu.

Di luar dugaan kami, Mbak Rohima tidak hanya menyajikan sambal lucu untuk menjamu kami, tapi juga membelikan beberapa ikat bunganya. Dia sengaja membelikan bunga lucu untuk kami bawa ke Surabaya sebagai oleh-oleh.

Sebelum kami pulang, ibunda Mbak Rohima mengajarkan cara menyambal lucu yang enak. Beliau mengatakan bahwa bonggol (batang bagian pangkal, dekat akar), batang, dan bunga lucu bisa diolah menjadi sambal. Dengan logat Osin, beliau menjelaskan cara mengupas, merajang, menggongso, dan mengulek lucu.

Ibunda Mbak Rohima meminta kami membuang dulu kulit batang dan kelopak bunga yang keras. Agar sambalnya nikmat, sebaiknya hanya gunakan bagian lucu yang empuk saja. Setelah itu bahan-bahan dicuci dan dirajang agak besar sebelum kemudian digongso di wajan bersama cabai kecil dan terasi. Setelah itu, barulah semua bahan diulek menjadi sambal dengan menambahkan garam sesuai selera.

Menurut ibunda Mbak Rohima, lucu dan cabai bisa digoreng lebih dulu atau tidak sebelum diulek. Jika digoreng, maka sambal akan lebih tahan lama. Ada pula versi lain sambal lucu yang ditambah bawang putih, bawang merah, gula merah, tomat, jahe, dan penyedap rasa.

Apa pun variasinya, sambal lucu sangat pas dinikmati bersama nasi hangat, tempe dan tahu goreng, ikan asin goreng, dan kerupuk uyel. Empat jam setelah makan, ketika bersendawa maka aroma lucu alias kecombrang memenuhi mulut. Hmmm, nikmatnya kecombrang. Eh, lucu... . (*)

Ngagel, 23 September 2024.


Editor: Hep



No comments