Lemper Kenangan


Wina Bojonegoro


Setiap kali menginjakkan kaki ke pasar dan mataku menatap butiran putih gemuk yang menggemaskan itu, aku pasti membelinya barang sekilo. Beras ketan. Beras jenis itu memang dua kali lebih mahal jika dibandingkan beras biasa. Apalagi, kegunaannya bukan untuk sehari-hari. Beras ketan biasanya diolah menjadi penganan saat hajatan khusus saja atau saat momen istimewa tiba.

Beras ketan selalu mengingatkanku pada Ibu. Beliau mengajariku membuat berbagai makanan olahan dari ketan, seperti, lemper, lupis, ketan bubuk, bubur ketan hitam alias komot, jadah, onde-onde, lepet, mendut dan banyak lainnya. 

Sebenarnya, Ibu tak pernah secara khusus mengajariku. Namun, pada masa itu, anak-anak wajib membantu orang tua mereka di dapur. Ibu tidak secara langsung memberitahukan kepadaku cara-cara mengolah penganan dari beras ketan. Beliau menularkannya dalam diam saat aku membantu menyiapkan bahan dan alat. Beliau membiarkanku mencarikan daun pisang, memarutkan kelapa, atau menumbuk beras ketan yang sudah matang saat hendak membuat jadah. 

Meskipun sepanjang proses tidak ada instruksi yang Ibu suarakan, otakku detail mencatat apa-apa saja bahan yang dibutuhkan dan bagaimana cara mengolah penganan-penganan itu.

Ada kenangan yang tak mungkin kulupakan tentang Ibu dan beras ketan. Tepatnya, lemper. Saat itu,aku diterima di Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP) yang merupakan satu-satunya sekolah lanjutan tingkat atas di Kota Bojonegoro. Ibu membuat sejumlah besar lemper dengan ukuran tidak biasa, lebih besar dari biasanya. 

Ibu menata lemper-lemper jumbo itu dalam baskom besar lalu membungkusnya dengan taplak meja. Setelah itu, Ibu memintaku membawa baskom berisi lemper istimewa itu ke kota. Aku ingat betul, saat itu masih awal tahun ajaran baru.

“Ini untuk Pak Setiadi yang sudah membantumu diterima masuk sekolah negeri. Kamu jadi satu-satunya anak Ngasem yang diterima di sana,” ucap Ibu waktu itu.

Aku menurut saja. Selepas subuh, kubawa baskom berisi lemper-lemper jumbo yang diselimuti taplak batik seperti jika buwuh ke orang hajatan itu. Tetapi, ada yang mengganjal di dadaku. Setamat SMP, aku mendaftar ke dua sekolah negeri, SMEA dan SMPP. Di dua sekolah itu, aku diterima lewat prosedur normal. Lalu, mengapa Ibu menyebut Pak Setiadilah yang membantuku masuk SMPP?

Pertanyaan itu terus menguasaiku dalam perjalanan menuju kota pagi itu. Aku pangku baskom bertaplak itu saat duduk di angkot. Di dalam angkot yang duduknya berhadap-hadapan itu, aku merenung. Mengapa Ibu membuatkan lemper istimewa nan lezat ini untuk Pak Setiadi? Padahal, aku ini anaknya. Aku pula yang berjuang mati-matian hingga lulus ujian dengan nilai gemilang. 

Mengapa justru Pak Setiadi yang mendapatkan sebaskom lemper dan aku hanya boleh mencicipi dua biji saja? Mengapa pula aku tidak dibekali sejumlah lemper untuk kumakan di rumah Budeku? Waktu itu hingga menyelesaikan pendidikan di SMPP, aku ikut Bude yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah. Budeku tinggal di kawasan Jambean, Kota Bojonegoro.

Dibayangi banyak pertanyaan, sampailah aku di rumah Pak Setiadi. Setelah dipersilakan masuk, aku segera menyerahkan sebaskom lemper dari Ibuku. Dalam perbincangan dengan Pak Setiadi dan istrinya hari itu, barulah aku tahu apa jasa Pak Setiadi di balik keberhasilanku masuk SMPP. 

Ternyata saat aku mengirim surat kepada Pak Setiadi untuk menanyakan cara mendaftar di SMPP, suratku ngendon di kantor pos. Ayah mertua Pak Setiadilah yang kemudian mengambilnya ke kantor pos dengan mengayuh sepeda tua. Begitu suratku dibaca oleh Pak Setiadi, beliau segera menuliskan surat balasan untuk Bapak. Beliau memberitahukan kepada Bapak, syarat apa saja yang harus kami siapkan untuk mendaftar di SMPP. 

Mendengar cerita itu, mendadak aku merasa sangat bersalah. Mengapa aku sampai merepotkan mertua guru favoritku?  Mengapa suratku tak sampai ke alamat tujuan? Apakah perangko yang kutempelkan di amplopnya kurang? Ataukah karena aku kurang lengkap menuliskan alamat rumah Pak Setiadi? Ah. Aku tak habis pikir mengapa suratku sampai ngendon di kantor pos. 

Begitu mendengar kerepotan ayah mertua Pak Setiadi dan respons cepat Pak Setiadi terhadap suratku, rasa bersalahku menggunung. Sebagai anak desa yang bau kencur, ketika itu aku pun terlalu malu untuk bertanya lebih detail perkara suratku. 

Setelah misi mengirimkan lemper-lemper jumbo nan lezat buatan Ibu tuntas, aku pulang ke rumah Budeku. Kubawa baskom yang kini kosong. Kepada Bude, aku bercerita tentang lemper-lemper buatan Ibu yang hanya kucicipi dua biji itu. Rupanya, Budeku tersentuh mendengar ceritaku. 

“Besok kita bikin lemper,” sahutnya. 

Aku girang mendengar perkataan Bude. Esoknya, aku membantu beliau membuat lemper. 

Namun, lemper buatan Bude tidak sama dengan buatan Ibu. Ibu biasa membuat isian lemper dari daging ayam kampung yang direbus dengan bumbu jangkep, lalu disuwir halus. Sebelum memadukannya dengan beras ketan yang dimasak terpisah, Ibu biasanya menggongseng lagi suwiran ayam dengan bumbu jangkep yang tersisa. Sensasi gurih, manis, dan asin berpadu dengan wangi ketan yang dikukus dengan tambahan daun pandan dan santan.  

Berbeda dengan Ibu, isian lemper Bude adalah abon daging sapi. Karena itu, Bude tidak perlu repot-repot membuat isiannya karena bisa dibeli jadi di toko.

Selain isiannya, perbedaan lemper Ibu dan Bude terletak pada kemasannya. Ibu membungkus lempernya dengan daun pisang, satu per satu. Setelah ketan diberi isian ayam suwir, Ibu memadatkannya dengan bantuan plastik sampai bentuknya lonjong sempurna. Selanjutnya, lemper yang cantik itu Ibu bungkus dengan daun pisang muda.

Sementara itu, cara Bude lebih praktis. Beliau meletakkan beras ketan yang sudah dikukus pada lembaran daun pisang yang lebar, lantas meletakkan abon daging sapi di atasnya. Setelah itu, Bude menutup isian itu dengan ketan sebelum menjadikannya gulungan besar. Jika hendak memakannya, barulah Bude mengiris gulungan lemper itu. Tampilan lemper buatan Bude mirip dengan bolu gulung. 

Meski berbeda jauh, dua versi lemper itu sama-sama kusuka. Maklum, masa SMPP bagiku adalah masa semega, yakni masa doyan makan. Lemper versi Ibu dan lemper versi Bude sama-sama enak buatku. 

Pagi ini aku memasak beras ketan dengan menambahkan daun pandan dan santan, semata untuk mengobati rinduku pada Ibu. Aroma gurih wangi santan dan pandan melayangkan kenanganku pada masa-masa membantu Ibu di dapur. Hanya saja, kali ini aku membuat lemper versiku sendiri.

Ketan yang sudah matang kuisi dengan serundeng kelapa yang aku buat beberapa waktu lalu dengan campuran bumbu jangkep dan suwiran daging ikan tongkol. Kemasan lemperku sama dengan Ibu. Aku membungkusnya dengan daun pisang satu per satu. Sebelum menjadikannya bungkus, daun pisang yang kuambil dari kebun itu aku kukus sebentar agar layu dan mengeluarkan aroma khasnya. 

Aroma daun pisang, santan, dan pandan berpadu di dapurku. Lemper buatanku juga menyajikan rasa yang lain daripada yang lain. Perpaduan aroma dan rasa ini tak mungkin ditemui di tempat lain di dunia ini. 

Swarga langgeng, Ibu. (*)



Omah Padma, 2024


Editor: Hep


No comments