MAK, KEK MANA MAU KAU: DARI BINCANG SANTAI ZOOMATAN PERLIMA



Oleh: Endang P. Uban


Di mana pertama kali kita mengenal cinta dan kasih sayang? 

Mungkinkah hubungan ajaib antara seorang ibu dan anak itu diwarnai oleh berbagai peristiwa yang menorehkan luka—bahkan trauma—bagi keduanya, hingga terbawa sampai seumur hidupnya? Hambatan komunikasi apa yang bisa terjadi antara ibu dan anak? Itulah yang dibicarakan oleh para perempuan anggota Perlima dalam agenda diskusi rutin dua mingguan, Zoomatan, pada Jumat malam, 28 Juni 2024. 

Bertajuk “Mak, Kek Mana Mau Kau?”, topik tersebut sungguh menggelitik dan memancing semangat para anggota untuk hadir saling bercerita. Diskusi kali ini disebut Bincang Santai, sebuah segmen baru Zoomatan, setelah sebelumnya ada segmen Berbagi dan Bedah Naskah. Pada Bincang Santai, tak ada narasumber khusus dan tak ada makalah dibagikan. Semua anggota yang hadir dipersilakan berbagi cerita dan pengalaman yang dimiliki secara bergantian, lalu anggota lain mendengarkan dan menanggapi. Tak harus ada solusi yang ditawarkan karena intinya adalah semua wanita ingin bercerita dan didengar.

Dimulai dari salah satu anggota yang bercerita tentang hambatan komunikasi dengan putranya akibat kesenjangan generasi dan usia yang begitu jauh, serta pengaruh teknologi yang mempengaruhi perilaku dan pola komunikasi di antara keduanya. Hambatan ini menimbulkan persoalan yang tidak kecil. Masing-masing pihak merasa terpukul oleh perselisihan yang terjadi sehingga membutuhkan bantuan pihak ketiga untuk mengatasi. 

Ada juga yang membahas tentang menjadi sandwich generation, yaitu selain mengurusi anak juga masih harus mengurusi orangtua yang tinggal bersamanya. Hal itu dikisahkan oleh salah satu anggota lain, bagaimana beban berat yang dirasakannya.  Untuk berkomunikasi dengan putranya, ia harus terus mengganti polanya menyesuaikan dengan perkembangan usia sang putra. Tak bisa terus memakai pola komunikasi yang sama dengan masa sebelumnya. Sementara itu, ketika berkomunikasi dengan orang tua yang tinggal bersama, masih harus menggunakan pola lama yang cenderung kaku. Lelah. Itulah kata sederhananya untuk melukiskan apa yang terjadi. Katarsis, adalah sesuatu yang dirasa dibutuhkannya sebagai sebuah cara untuk mengurangi beban tersebut agar bisa terus merasa sehat secara mental. 

Generasi sandwich seperti ini sering kali masih harus menghadapi persoalan sindrom anak kedua, pada adik yang menerima pola asuh berbeda dari orang tua yang sama. Pola asuh berbeda pada anak memunculkan juga sikap dan perilaku berbeda dalam keseharian masing-masing anak. Dampaknya, perilaku-perilaku itu tanpa sadar ditimpakan juga kepada generasi ketiga (cucu) karena anak cenderung menurunkan pola asuh serupa dengan orang tua (nenek) yang membekas dalam ingatan. 

Berhadapan dengan pengasuhan cucu, generasi ketiga dalam keluarga itu, menjadi drama tersendiri. Anak yang kemudian menikah, memiliki anak dan keluarga sendiri, merasa sudah mandiri dan tidak ingin dicampuri oleh orang tuanya lagi. Sementara itu, orang tua yang sudah menjadi nenek ternyata mengalami transformasi rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh logika. Disiplin ketika mendidik anak sendiri, tetapi lemah dan tidak tegaan melihat cucu dididik keras oleh ibunya, adalah salah satu contohnya. Konflik yang terjadi kemudian bisa menjadi besar dan membutuhkan waktu lama untuk diselesaikan.

Cerita tentang ingatan terkait pola asuh yang diterima dari orang tua itu terus bermunculan dari para anggota, selain contoh-contoh di atas. Penyebabnya bisa bersumber dari perbedaan generasi, yang menimbulkan kesenjangan pola asuh dan pola komunikasi. Sering kali, hal itu diperburuk di masa kini dengan adanya perbedaan perilaku sebagai pengaruh kehadiran teknologi yang menyita sebagian besar perhatian. Meski tidak disebutkan secara gamblang, semua cerita tampak meninggalkan semacam luka berbekas di hati masing-masing. Luka tersebut berusaha diselesaikan setiap orang seiring pertambahan usia yang semakin matang dan memiliki sudut pandang yang lebih bijaksana. 

Ada hal lebih besar yang mengalahkan rasa sedih, takut, dan kecewa yang disimpan dalam-dalam. Setiap kita pasti mencari, kembali, dan bertahan pada keluarga. Ikatannya terus tumbuh besar dan sudah menjadi sangat kuat setelah melalui berbagai peristiwa. 

Darah yang mengalir membawa oksigen dan nutrisi melalui plasenta ketika masih menjadi janin dalam kandungan dan air susu ibu yang menetes pertama kali ke mulut seorang bayi merah, itulah cinta dan kasih sayang. Dari sanalah dimulainya sebuah ikatan. Seorang ibu akan mampu memiliki firasat kuat tentang apa yang dialami putranya, bahkan ketika sedang berada dalam jarak yang jauh dari tempatnya berada, tersebab ikatan ini. 


Kita bisa lelah, luka, dan marah pada dunia

Senyampang kembali pada sarang, luka-luka itu menyembuhkan diri.


Tempat kita tak berpura-pura dan tak basa-basi.

Bahasanya kita kenal dan hapal meski tak terucap.

Kedipan mata, helaan napas, juluran lidah, semua yang tak berhuruf,

tetapi punya ribuan kata.


Mungkin saja sempat ada yang tergores.

Tetap tak terjelaskan ke sanalah kita terus pulang.

Dan sebelum maaf Allah yang begitu luas, di sana juga selalu ada peti maaf 

untuk kita buka.

Lalu peti lain berisi cinta dan kasih murni yang kadang perlu kita temukan.

Jalannya mungkin berliku, tetapi kita pasti mencari.

Dan di sana jugalah tertanam akar.

Diakui atau tidak, dari sana kita tumbuh.


Editor: Windy Effendy


No comments