KEBAYA, LOVE-HATE RELATIONSHIP

RWilis

Tanggal 24 Juli 2024 untuk kali pertama menjadi Hari Kebaya Nasional. Gong acaranya, ribuan perempuan mengenakan kebaya berkumpul merayakannya di GBK Jakarta. Lini masa dipenuhi perempuan cantik berbagai gaya memakai kebaya, dengan model yang sesuai pakem—maupun kebaya modern. 

Kebaya, Sebuah Warisan Budaya

Pada masa kini, perempuan berkebaya menjadi simbol kebanggaan pada warisan budaya yang adiluhung, begitu semangat dari pemakai kebaya. Berkebaya juga menjadi bukti bahwa pakaian tradisional tidak hanya memperindah pemakainya, tetapi juga tidak menjadi halangan dalam kebebasan. Kebaya yang telah menjadi busana nasional sejak kemerdekaan 1945 adalah busana yang fleksibel dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Kebaya pun menjadi busana sehari-hari. 

Satu hal yang perlu diingat dari sejarah kebaya, dulu kebaya menjadi simbol identitas dan menunjukan perbedaan kelas. Kebaya di kalangan ningrat atau keraton akan berbeda dengan kebaya penjajah, apalagi rakyat jelata. Perbedaan materi kain kebaya dan kain jarik, akan menunjukkan dari kelas mana pemakainya. Kebaya ala Kartini menjadi busana kaum ningrat. Kebaya katun putih dengan renda-renda menjadi busana para noni Belanda. Lalu rakyat biasa dibedakan dari kebaya kutubarunya. Pakem kebaya sebagai busana atasan berlengan panjang dengan bukaan depan, ditambah pemakaian kain jarik, sarung atau wastra sebagai bawahan. Jarik dengan motif tertentu menjadi milik para bangsawan. 

Pada keriuhan era digital, euforia berkebaya menjadi busana yang sangat dinamis dari segi bahan atau kain serta modelnya. Perempuan zaman sekarang mempunyai banyak pilihan terutama dalam memilih busana. Mau lebih tertutup, pendek, atau panjang, itu bebas saja. Mau dipadupadankan dengan sepatu tinggi, sandal selop maupun sneakers, sekali lagi bebas saja. Ajakan untuk berkebaya mengemuka dua tiga tahun belakangan ini. Bisa jadi sebagai counter ekspresi terhadap pengaruh Islam garis kaku, yang galak sekali mengurus soal busana terutama umat perempuannya. 

Antara Jatuh Cinta dan Benci pada Kebaya

Aku mempunyai pengalaman masa lalu yang membuatku sedikit trauma pada kebaya. Itu sebenarnya seperti love hate relationship. Aku jelas suka dengan keindahan kebaya dan jariknya pada masa kini. Apalagi jika pemakainya bertubuh ideal, cakep sekali. 

Namun, pengalaman membuatku laksana cinta dan benci pada kebaya. Aku memilih koleksi kebaya di luar pakem, tidak bisa memakai kebaya yang memperlihatkan kelebihan lemak tubuh. Sejak dulu, kalau memakai kebaya, aku merasa kurang percaya diri. Itu disebabkan oleh pengalaman.

Ketika SMP kelas 2, pada perayaan Hari Kartini, sekolah meminta siswa putri memakai kebaya lengkap dengan kain dan konde. Ibuku menjadi sangat sibuk karena harus mengecilkan kebayanya agar bisa kupakai. Aku juga memakai kain atau jarit dan memakai selopnya yang kekecilan di kakiku, ukuran yang tidak umum untuk anak gadis. Ibu juga memasang sanggul, dibantu tetangga karena dia tidak bisa menyasak rambut. Aku pasrah saja. Pagi-pagi sekali setelah mandi Ibu mendandaniku. Satu hal yang paling aku tidak suka saat disasak, rambut jadi kaku karena disemprot hairspray

Lalu aku harus berjalan ke sekolah. Di sepanjang jalan anak-anak kecil meledek—aku kayak ibu-ibu. Aku kesal sekali dibilang ibu-ibu. Rasanya, kok jadi tua sekali. Di sekolah, aku juga ingin segera pulang ke rumah. Torso atau dalaman kebaya sangat menyiksa. Aku sungguh tidak merasa istimewa dengan kebaya. Trauma.  Apalagi teman-temanku penampilannya cantik paripurna karena rata-rata berdandan ke salon. 

Sampai aku berkesimpulan bahwa kebaya adalah busana orang kaya, langsing dan cantik. Yah, aku paham. Ibu sampai mendandaniku sendiri agar tak perlu mengeluarkan uang. Itu uang yang besar untuk kami. 


Kolase Kebaya Perlima

Kebaya dan Kenyamanan


 

Mahal atau murah itu persepsi saja sih. Bila ke desa-desa di propinsi DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta masih banyak ditemui perempuan berkebaya dan memakai jarik. Penampilan mereka sangat sederhana, filosofi kebaya memang ada pada kesederhanaannya, dan jarik adalah busana sehari-hari yang melekat setiap saat. Namun, dengan menjadikan kebaya sebagai busana resmi pada era lalu hingga kini, berkebaya memerlukan modal yang tidak sedikit. Apalagi sekarang bahan dan model kebaya beraneka rupa, dengan harga yang tak murah. Kebaya tidak hanya melestarikan perbedaan kelas, tapi juga identitas. 

Sampai kini, kalaupun aku memakai kebaya pasti di luar pakem. Semacam kebebasan menginterpretasikannya. Kebaya yang longgar dan jariknya dijahit jadi rok atau memakai bawahan celana panjang.  Aku pernah punya penjahit yang pandai, jahitannya rapi sekali kalau membuat kebaya. Bahkan untuk tubuhku yang jauh dari ideal. Dia juga menjahitkan rok jarik lengkap dengan wirunya. Kalau kita melihatnya sekilas, seperti memakai kain tanpa jahitan. Sayang, dia sudah meninggal.

Bila hari ini para perempuan bereuforia memakai kebaya, aku cukup menikmati saja. Sekadar memberi selamat agar tak ketinggalan tren. Senang bisa melihat aneka gaya berkebaya.   Beberapa kebaya yang kupunya di lemari, tetap tenang berada di tempatnya. Aku baru memakainya bila ada acara tertentu saja, bergantian dengan kostum kasual. Aku belum bisa memakai kebaya untuk pakaian sehari-hari, seperti ajakan para seleb kebaya. Bukan berarti aku anti. Berpakaian bagiku adalah urusan kenyamanan, dan pakaian dinasku tetap baju yang paling nyaman sedunia: daster.

#Harikebayanasional #perlimaberkebaya #ceritakebaya #ceritauti

Cendrawasih, 240724


No comments