Ditulis oleh Titie Surya
Ibu muda
yang menggeluti profesi sebagai Head Marketing Communication (Markom) di sebuah
perusahaan property ini suka menulis puisi sejak SMP. Baginya, menulis adalah
proses katarsis jiwa yang menjadi tabung pelepasan segala emosi.
Ayu Trisna, nama pena yang ia pilih, adalah kependekan
dari namanya: Made Ayu Nita Trisna Dewi. Kelahiran Bali sekian puluh tahun yang
lalu tinggal di Surabaya bersama keluarga kecilnya sambil merawat sang bunda
yang memasuki usia 79 tahun. Baginya, keluarga adalah support sistem yang
sangat berarti.
Sebagai lulusan fakultas psikologi UNAIR, Ayu memilih untuk menjalani hidup sebagaimana air mengalir. "Menjadi versi terbaik diri sendiri itu gak perlu berkompetisi", begitu prinsip hidupnya. Hal itu pun ia terapkan pada putra semata wayang yang tidak dituntut untuk menjadi bintang. Dalam masalah pendidikan, putranya tak harus menjadi juara. Cukup menjadi versi terbaik dirinya sebagai anak SMK yang menyukai dunia broadcasting sebagai pilihan penyaluran minat.
Belajar
Menulis Sejak Menjadi Penyiar
Dunia radio menjadi cikal bakal Ayu
merambah dunia kepenulisan dengan lebih baik. Sebagai mantan penyiar Radio
Sonora—yang disebutnya sebagai kawah candradimuka belajar menulis—ia harus
menyiapkan script sebelum mulai
siaran pada 2003—2006. "Orang tahunya kan penyiar itu ngoceh aja. Padahal untuk melakukan siaran yang baik itu, harus
nyiapin script writing sendiri. Harus
menguasai bahasa yang baik juga. Kan menulis enggak bisa lepas dari public speaking. Apalagi kalau habis
reportase, itu kan juga harus nulis runut apa yang mau disampaikan."
Sebagai penyiar, Ayu pernah ditegur
oleh head director Radio Sonora saat
itu perkara kata nampak. "Ayu,
sadar gak kamu itu kaya mamak-mamak
Batak bilang ‘nampak’, ‘nampak’, berapa kali itu. ‘Tam–pak’, bukan
nampak."
Sejak itu, ia berusaha untuk menulis sesuai kaidah EYD. Meskipun demikian, perempuan yang menyukai dunia jurnalisme dan sempat mengisi kolom buletin serta menjadi trainer ekstrakurikuler jurnalistik saat menjadi mahasiswa itu pun tertantang untuk menulis company profile beberapa perusahaan sebagai ghost writer.
Bersama beberapa teman dalam satu
komunitas, ia menggunakan LinkedIn untuk menjaring perusahaan-perusahaan yang
membutuhkan jasa penulisan company
profile mulai 2018. Hal itu dilakukan saat ia baru saja resign sebagai Senior Marcom sebuah mal ternama di
Surabaya. Baginya, itu adalah pekerjaan sampingan yang lumayan menghasilkan
sampai saat ini.
Belajar dari
Tokoh Perempuan Dengan Karakter Kuat
Selain itu, novel karya Eka Kurniawan yang berjudul Cantik Itu Luka juga menginspirasinya. "Saat baca sinopsisnya lagi-lagi aku suka tokoh perempuan yang karakternya kuat di kumpulan cerpen itu Kuat itu dalam artian dia itu berbeda di tengah-tengah standar normal kayak gitu-gitu aja. Terus Tarian Bumi karya Oka Rusmini juga suka. Ternyata benang merah itu adalah tokoh-tokoh perempuan yang membentuk pola pikirku dan aku baru sadari itu."
Sebagai penyuka buku, gek (perempuan cantik) dari Bali ini
menyukai buku dengan tokoh perempuan berkarakter kuat seperti Nyai Ontosoroh
dalam Bumi Manusia karya Pramudya
Ananta Tur. Nyai Ontosoroh, perempuan yang hidup dalam dunia patriarki di masa
kolonial dan mampu speak up terasa
keren dan menginspirasi bagi seorang Ayu Trisna.
"Aku baca buku itu saat jadi
mahasiswa dengan cara meminjam Satu buku
yang berputar dari tangan ke tangan dibaca bergantian. Eh, lah kok belasan
tahun kemudian saat mampu beli buku itu, anakku juga ikutan baca," ujarnya
sambil tertawa.
Kecantikan itu datangnya dari hati |
Markom
Juga Menulis
Sebagai marketing komunikasi, Ayu
juga harus menulis untuk website
perusahaan 3-4 kali seminggu. Selain itu membuat video iklan dan branding juga membutuhkan script untuk narasi dan lagu sebagai
latar belakangnya. Untung saja, istri seorang dosen ini juga penyuka musik dari
berbagai genre. Dengan demikian ia bisa mengarahkan timnya untuk membuat iklan
dan promosi yang baik dan tepat bagi perusahaan.
Selain menyukai berbagai jenis musik, Ayu juga sempat belajar bermain gitar klasik sejak kelas 6 SD dan bergabung dalam sebuah band saat SMA. Semakin dewasa jenis musik yang disukainya meluas. Bagi Ayu, musik adalah pengiring saat jemarinya menari menuangkan isi kepala dalam bentuk puisi.
Melesat di
Ubud Writers and Readers Festival
Bergabung dengan komunitas Perlima
membuat Ayu semakin berani untuk membukukan puisi dan dikirimnya untuk
mengikuti seleksi di Ubud Writers and Readers Festival berjudul Membaca Sunyi Menatap Sepi yang dicetak
terbatas. Buku lain karyanya adalah
Lelaki Pertamaku, HIIB seri ayah, dan antologi puisi Menenun Rinai Hujan bersama Sapardi Djoko Damono.
Buat seorang Ayu Trisna, menulis itu
butuh riset.
"Kebiasaan menulis buat website perusahaan ya kan itu butuh
riset. Termasuk juga kalau nulis fiksi itu juga butuh riset biar gak terjadi plot hole." Itu sebabnya ia butuh
mengendorkan urat syaraf yang lelah karena menekuni pekerjaan, mengurus
keluarga, dan aktivitas lainnya dengan mendengarkan musik dan juga jalan-jalan
ke tempat bersejarah—sambil riset tipis-tipis. ~
edited by
Windy Effendy
No comments